PANJIMAS.COM – Puasa di bulan Ramadhan, sudah diketahui umat Islam, baik orang awam maupun berilmu bahwa hukumnya wajib dan termasuk dalam salah satu rukun Islam.
Demikian pula definisi puasa yang dipahami secara umum dari kitab-kitab fiqih, yakni menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman, hubungan suami dan istri dan semua hal-hal yang membatalkan puasa, sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.
Namun seyogyanya yang juga perlu diketahui kaum Muslimin bahwa puasa tak sekedar makan dan minum yang masuk ke mulut seseorang, melainkan juga menjaga apa yang keluar dari mulut itu sendiri, berupa perkataan atau ucapan.
Seringkali kita jumpai di bulan Ramadhan ini, masih ada saja yang tidak paham bahwa Ramadhan bukan sekedar bulan puasa, tetapi juga bulan menjaga lisan.
Mari kita tengok sekitar kita, suami istri cekcok rumah tangga, atasan mencaci bawahan, termasuk kampanye Pilpres yang saling hasut, bahkan kadang ada aktivis Islam yang berbeda pandangan juga saling caci.
Di zaman modern ini pun dampaknya semakin parah; dusta, cacian, umpatan, ghibah, fitnah dan lain sebagainya bisa tersebar secara massif melalui jejaring sosial Facebook atau twitter, Broadcast BlackBerry Messenger, fasilitas aplikasi chatting dan lain-lain. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.
Adalah kewajiban bagi seorang Muslim dengan Muslim lainnya untuk saling menasehati dalam kebenaran, maka luangkan waktu sejenak, mari kita telaah beberapa hadits dan perkataan para ulama berikut ini.
وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنَّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Jika salah seorang di antara kalian melaksanakan ibadah puasa, maka janganlah ia mengucapkan perkataan kotor dan jangan berteriak-teriak. Jika ia dicaci oleh orang atau hendak diajak berkelahi, maka hendaknya ia mengatakan ‘Aku sedang puasa.’” (Muttafaqun ‘alaih).
Penjelasan hadit tersebut, kata ar-Rafats maknanya adalah suatu perkataan seorang lelaki setiap apa yang ia inginkan dari seorang wanita, dan pada dasar dari ar-Rafats adalah perkataan yang keji. Kemudian al-Jahlu maknanya adalah perkataan buruk dan keji.
Maka, apabila seseorang itu sedang menjalankan ibadah puasa, maka ia harus menghindarkan diri dari perkataan yang keji dan menjauhkan diri dari melakukan kerusakan. Adapun puasa dalam syari’at maknanya adalah menahan diri dari makan, minum dan meninggalkan hubungan badan antara suami dan istri di siang hari. Dan apabila ia sudah meninggalkan semua larangan itu dan hendak meraih ridha Allah Ta’ala semata dan bersungguh-sungguh berniat ikhlas untuk melakukannya, maka inilah yang dinamakan puasa dalam syari’at yang telah disepakati oleh para ulama.
Ketika seseorang itu berpuasa, kemudian ada orang yang akan mengganggunya, maka katakanlah “Aku sedang puasa”, karena kalimat “Aku sedang puasa” mengandung dua sisi, sisi pertama yaitu, ia berbicara kepadanya dan yang kedua adalah ia berkata kepada dirinya sendiri (dalam hati), maksudnya adalah agar ia berfikir bahwa ia sedang menjalankan ibadah puasa dan janganlah melawannya, karena melakukan hal itu akan menyebabkan terhapusnya pahala amalanmu dan yang mendapatkan pahala adalah orang yang tidak melakukan hal itu.
Ibnu Juraij mengatakan, aku berkata kepada Atha’ : “Aku menyampaikan kepadamu bahwa jika seseorang itu diajak untuk makan, hendaklah ia mengatakan “Aku sedang puasa?”, ia berkata : “Kami mendengar Abu Hurairah mengatakan, “Apabila kamu lagi puasa, maka janganlah kamu mencaci orang dan melakukan hal buruk pada orang lain, karena kejahilan itu bisa jadi akan menimpamu, dengan demikian, maka katakanlah, “Aku sedang puasa.” Inilah yang dikatakan beberapa ulama, yaitu Qatadah dan az-Zuhri. Jadi makna “Aku sedang berpuasa.” Maksudnya adalah menyebutkan di dalam hatinya dan tidak dijelaskan dengan ucapan.
Dusta dan Ghibah[1] Membatalkan Puasa?
Ikhwah fillah, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, wajib bagi kaum Muslimin untuk menjaga lisannya saat berpuasa. Mengapa demikian? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mejelaskan dalam sebuah hadits:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه
“Barang siapa tidak bisa meninggalkan ucapan yang haram dan perbuatan haram, maka Allah tidak memiliki hajat darinya dengan meninggalkan makan dan minumnya.” [H.R. Bukhari]
Bahkan, ada diatara ulama salaf seperti Al Imam Al Auza’i berpendapat bahwa ada beberapa perbuatan maksiat lisan yang dapat membatalkan puasa. Dalilnya adalah hadits yang telah disebutkan di atas dan hadits berikut ini:
خمس يفطرن الصائم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الكاذبة والنظر بشهوة
“Lima perkara yang membatalkan orang yang berpuasa ; dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu dan melihat dengan syahwat.“ Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’atnya dari hadits ‘Anbasah, dan ia mengatakan hadits itu palsu.
Meskipun hadits itu bermasalah, namun ulama berpendapat maknanya shahih.
قال السبكي: وحديث خمس يفطرن الصائم الغيبة والنميمة إلى آخره ضعيف وإن صح
Imam as-Subuki mengatakan, “ Dan hadits “ Lima perkara yang membatalkan (pahala) puasa, yakni ghibah, adu domba dan seterusnya adalah dhaif walaupun sahih (maknanya).“ [Al-Iqna fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’ : 1/220]
Maksudnya, memang tidak benar jika berhujjah dengan hadits di atas bahwa pembatal puasa adalah ghibah, dusta dan perbuatan maksiat lainnya, akan tetapi yang benar adalah perbuatan maksiat sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut hanya membatalkan pahal puasa.
Imam Ibn Ash-Shabbagh mengomentari hadits lima perkara tersebut sebagai berikut :
وأما الخبر: فالمراد به: أنه يسقط ثوابه، حتى يصير في معنى المفطر، كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «من قال لأخيه والإمام يخطب: أنصت.. فلا جمعة له» . ولم يرد: أن صلاته تبطل، وإنما أراد: أن ثوابه يسقط، حتى يصير في معنى من لم يصل
“Adapun hadits tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “ Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah “, maka tidak ada jum’at baginya “, hadits ini tidak bermaksud sholatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala jum’atnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak sholat.“ [Al-Bayan fi Mazhab imam Syafi’i : 3/536]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالعَمَلَ بِهِ وَالجَهْلَ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapapan dusta, perbuatan dusta dan perbuatan jahil, maka Allah tidak perduli dengan ia meninggalkan makan dan minumnya.“ [HR. Bukari]
Imam ash-Shan’ani berkata tentang hadits ini:
الحديثُ دليلٌ على تحريم الكذب والعملِ به، وتحريمِ السفَهِ على الصائم، وهما محرَّمان على غير الصائم ـ أيضًا ـ، إلَّا أنَّ التحريم في حقِّه آكَدُ كتأكُّد تحريم الزنا مِنَ الشيخ والخُيَلَاءِ مِنَ الفقير
“ Hadits tersebut dalil atas keharaman berdusta dan berbuat dusta dan keharaman berbuat jahil atas orang yang berpuasa, keduanya adalah haram bagi orang yang tidak berpuasa juga, akan tetapi keharamannya bagi orang yang berpuasa lebih ditekankan seperti keharaman berzina bagi orang yang sudah tua dan sifat sombong bagi orang yang faqir.“ [Subul as-Salam, ash-Shan’ani : 2/320]
Hikmah yang bisa dipetik dari ulasan di atas, bahwa puasa bukan sekedar menahan makan dan minum yang masuk ke mulut kita, melainkan juga menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat terutama yang keluar dari mulut (lisan) kita.
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu memuliakan mulut orang yang sedang berpuasa?
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ ، لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Sungguh, demi jiwa Muhammad berada di tangan-Ku ! Bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi disisi Allah Ta’ala daripada wangi minyak kesturi.” [ HR. Muslim ]
Oleh sebab itu, jaga lisan kita, berfikirlah sebelum berbicara dan jangan sampai dengan ucapan yang keluar dari mulut kita justru mencelakakan kita dan menyebabkan kita dilemparkan ke dalam neraka.
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيهَا يَهْوِى بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” [HR. Muslim]. Wallahu a’lam bishshawab. [AW/dbs]
[1] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti). [HR. Muslim]