Panjimas.com – Pada zaman sekarang tidaklah sulit bagi kita untuk menemukan orang yang sedang berghibah karena sekarang ghibah sudah menjadi kegiatan sehari-hari hampir setiap orang,mereka juga tidak mengenal tempat atau waktu ketika sedang berghibah,mereka tampak asyik dengan apa yang mereka lakukan tanpa mengetahui dampak apa saja yang bisa ditimbulkan oleh perbuatan ghibah yang mana kalau saja mereka mengetahuinya maka mungkin mereka tidak akan melakukannya
PENGERTIAN GHIBAH
Ikhwatil kirom tahukah anda apa itu ghibah?
Sesungguhnya kata ini tidak asing lagi bagi kita. Ghibah ini erat kaitannya dengan perbuatan lisan, sehingga sering terjadi dan terkadang di luar kesadaran.
Ghibah berasal dari kata غاب-يغيب yang berarti tidak nampak atau tersembunyi,dinamakan dengan ghibah karena pelakunya membicarakan seseorang tanpa kehadiran orang tersebut
Ghibah juga dapat diartikan membuka aib saudaranya dengan maksud jelek.
DALIL-DALIL YANG BERKAITAN DENGAN LARANGAN BERGHIBAH
Al Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اَللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، قِيْلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?
Para shahabat berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”
Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Engkau menyebutkan sesuatu yang ada pada saudaramu yang dia membecinya, jika yang engkau sebutkan tadi benar-benar ada pada saudaramu sungguh engkau telah berbuat ghibah, sedangkan jika itu tidak benar maka engkau telah membuat kedustaan atasnya.”
Di dalam Al Qur’anul Karim Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat mencela perbuatan ghibah, sebagaimana firman-Nya (artinya):
وَّ لاَ تَجَسَّسُوْا وَ لاَ يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ، وَ اتَّقُوا اللهَ، اِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ
“Dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing (ghibah) kepada sebagian yang lainnya. Apakah kalian suka salah seorang diantara kalian memakan daging saudaramu yang sudah mati? Maka tentulah kalian membencinya. Dan bertaqwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat dan Maha Pengasih.” (Al Hujurat: 12)
Seorang ulama hafidz Al-Quran yang juga ahli tafsir dan hadits, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, tentang Surat Al-Hujurat ayat 12 yang artinya, “Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging (bangkai) saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kalian merasa jijik kepadanya.” Ayat ini merupakan gambaran betapa ghibah bagaikan mencabik-cabik orang dari belakang tanpa sempat orang tersebut membelanya. Karena tak dapat membela itulah maka diibaratkan orang mati, yang hanya bisa diam saja sekalipun dirobek-robek.
BAHAYA BERGHIBAH
Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i berkata dalam tafsirnya: “Sungguh telah disebutkan (dalam beberapa hadits) tentang ghibah dalam konteks celaan yang menghinakan.
Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menyerupakan orang yang berbuat ghibah seperti orang yang memakan bangkai saudaranya.
Tentunya itu perkara yang kalian benci dalam tabi’at, demikian pula hal itu dibenci dalam syari’at.
Sesungguhnya ancamannya lebih dahsyat dari permisalan itu, karena ayat ini sebagai peringatan agar menjauh/lari (dari perbuatan yang kotor ini).” (kitab Mishbahul Munir)
Suatu hari Aisyah radhiyallahu’anha pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam tentang Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek. Maka beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” (kitab Bahjatun Nadzhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
Sekedar menggambarkan bentuk tubuh seseorang saja sudah mendapat teguran keras dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam , lalu bagaimana dengan menyebutkan sesuatu yang lebih keji dari itu?
Dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَصُدُوْرَهُمْ ، فَقُلْتُ مَنْ هؤُلاَءِ يَاجِبْرِيْلُ؟ قَالَ : هؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسِ وَيَقَعُوْنَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
“Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?”
Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya)
Yang dimaksud dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan pada surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu , bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
يا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya.
Barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya.Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad 3/351)
Dari shahabat Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya termasuk riba yang paling besar (dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar besarnya dosa besar) adalah memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya muslim tanpa alasan yang benar.” (H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari ancaman yang terkandung dalam ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah ini termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
Janganlah kamu tersibukkan dengan aib orang lain, justru kamu lalai dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu adalah dua keaiban(Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Maksudnya, bila anda menyibukkan dengan aib orang lain maka hal itu merupakan aib bagimu karena kamu telah terjatuh dalam kemaksiatan. Sedangkan bila anda lalai dari mengoreksi aib pada dirimu sendiri itu juga merupakan aib bagimu. Karena secara tidak langsung kamu merasa sebagai orang yang sempurna. Padahal tidak ada manusia yang sempurna dan ma’shum kecuali para Nabi dan Rasul.
Konteks dalam hadits:
“Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.”
Hadits di atas secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup penyebutan aib dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al Hafizh Ibnu Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya, sebagaimana asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib yang artinya tersembunyi-pent) yang ditegaskan oleh ahli bahasa.
Kemudian Al Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan aib di hadapannya itu merupakan perbuatan yang haram, tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari 10/470 dan Subulus Salam hadits no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
Demikian pula bagi siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya dibeberkan aibnya.
Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzino. 1931 dan lainnya)
Demikian juga semestinya ia tidak ridha melihat saudaranya terjatuh dalam berbuat ghibah. Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut. Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Dan orang-orang yang beriman itu bila mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55)
Dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun bila ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan, tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
BERTAUBAT DARI PERBUATAN GHIBAH
Sebagian para ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi tahu kepadanya dan meminta ma’af darinya. Pendapat ini ada sisi benarnya jika dikaitkan dengan hak seorang manusia. Misalnya mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar maka dia pun wajib mengembalikannya. Tetapi dari sisi lain, justru bila ia memberitahu kepada yang dighibahi dikhawatirkan akan terjadi mudharat yang lebih besar.
Bisa jadi orang yang dighibahi itu justru marah yang bisa meruncing pada percekcokan dan bahkan perkelahian.
Oleh karena itu sebagian para ulama lainnya berpendapat tidak perlu ia memberi tahukan kepada yang dighibahi tapi wajib baginya beristighfar (memohan ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi itu di tempat-tempat yang pernah ia berbuat ghibah kepadanya.
Insyaallah pendapat terakhir lebih mendekati kebenaran. (Lihat Nashiihatii linnisaa’: 31)
Ada beberapa cara untuk mengatasi perbuatan ghibah:
Pertama, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengarahkan agar orang beriman gemar berbicara yang baik atau lebih baik diam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أًوْ لِيَصْمُتْ
Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Kedua, melakukan klarifikasi (tabayyun) bila ditemukan pembicaraan ghibah yang dapat merembet ke fitnah memecah belah umat.
Allah Ta’ala memperingatkan kita di dalam Al-Quran :
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٍ۬ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَـٰلَةٍ۬ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَـٰدِمِينَ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” ((Al-Quran Surat Al-Hujurat [49] ayat 6).
Ketiga, memberi nasihat bila ditemukan kesalahan orang lain, bukan malah membicarakan di belakang, atau membicarakannya beramai-ramai dengan orang banyak agar kesalahan dan aibnya itu semakin meluas dan menyebar.
اَلدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ، قَالُوْا: لِمَنْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ِللهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُوْلِهِ، وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ أَوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ، وَعَامَّتِهِمْ
Artinya : “Agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat, agama itu adalah nasihat”. Mereka (para sahabat) bertanya,”Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Untuk Allah, dan untuk Kitab-Nya, dan untuk Rasul-Nya, dan untuk Imaamul Muslimin atau mukminin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (Hadits Shahih Riwayat Muslim dari Abi Ruqayyah, Tamim bin Aus ad-Dâri Radhiyallahu ‘Anhu).
ADAKAH GHIBAH YANG DIPERBOLEHKAN DALAM AGAMA ISLAM?
Imam Nawawi di dalam Kitab Syarah Nawawi fi Shahih Muslim menjelaskan bahwa membicarakan orang lain yang dibolehkan adalah karena adanya tujuan yang dibenarkan syariat, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan menempuh cara ini.
Pertama, saat mengadukan kezaliman orang kepada pimpinan (ulil amri), hakim dalam persidangan, atau siapa saja yang mempunyai wewenang dan diberi kewenangan untuk menanganinya.
Kedua, untuk meminta bantuan orang lain atau mengadukan (seperti ulama, kyai, ustadz,) demi mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat agar kembali kepada kebenaran. Tujuan di balik pengaduan itu adalah demi menghilangkan kemungkaran. Tetapi kalau dia tidak bermaksud demikian, maka hukumnya tetap haram membicarakannya.
Ketiga, untuk meminta fatwa kepada orang ‘alim atau sholih atas kelakuan seseorang terhadap dirinya. Penyampaiannya pun, untuk kehati-hatian mengindarkan aib itu menyebar, dengan kalimat santun, seperti, “Bagaimana pendapat Anda terhadap orang yang melakukan perbuatan demikian dan demikian (tanpa menyebut namanya)?”.
Keempat, untuk memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan sebagian orang dan dalam rangka menasihati mereka.
Kelima, menyebutkan kejahatan pelaku maksiat yang berterang-terangan dalam melakukan dosa, seperti orang yang merampas harta secara paksa, dengan syarat kejelekan yang disebutkan adalah yang terkait dengan kemaksiatannya tersebut dan bukan yang lainnya.
Keenam, untuk memperkenalkan jati diri seseorang, contohnya : “Mohon maaf orangnya yang pincang itu,….”. Akan tetapi hal ini diharamkan apabila diucapkan dalam konteks penghinaan atau melecehkan. Seandainya ada ungkapan lain yang bisa dipakai untuk memperkenalkannya maka itulah yang lebih utama.(Husain Fikry)