JAKARTA (Panjimas.com) — Soal perbedaan Idul Adha antara Saudi dan Indonesia, jangan bingung dan saling menyalahkan, lalu mengklaim shalat Idul Adha hari Rabu 22 Agustus tahun ini telah melanggar syariat Islam, tidak sah dan tidak akan diterima Allah Swt.
“Yang cerdas dikit, bacalah sikap mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama Buya Hamka terkait Perbedaan Idul Adha. Sikap Buya Hamka itu ditulis oleh Bahrul Ulum, Sekretaris Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur,” pesan Ustadz Fahmi Salim, Wakil Ketua Bidang Dakwah MUI Pusat kepada Panjimas.
Kasus perbedaan penentuan Idul Adha tidaklah hanya terjadi saat ini.Kasus ini bahkan pernah terjadi di zaman Ketua MUI pertama Indonesia, Buya Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (HAMKA).
Kala itu, keputusan Departemen Agama RI., Hari Raya Idul Adha 1395 jatuh pada hari Sabtu 13 Desember 1975. Keputusan itu dikeluarkan setelah Departemen Agama menerima laporan dari ahli-ahli hisab dan kesaksian orang-orang yang mengadakan ru’yah bil fi’li (melihat hilal dengan perbuatan). Terdapat kesamaan hasil Hisab dengan hasi Ru’yah, bahwa akhir Zulqa’idah jatuh pada hari Rabu sore 3 Desember 1975.
Tiba-tiba pada hari Senin tanggal 8 Desember 1975, Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta menyiarkan berita di media-memdia Jakarta bahwa, Wuquf tahun itu jatuh pada hari Kamis tanggal 11 Desember 1975, sehingga orang-orang di Makkah mengerjakan Idul Adha hari Jumat 12 Desember 1975.
Rabithah ‘Alam Islamiy di Makkah bahkan mengirim telegram epada Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) Pusat di Jakarta, menyatakan tentang wuquf hari Kamis itu, dan bukan pada hari Jumat.
Saat itu banyak tanggapan dan pertanyaan; sebagaian golongan menganjurkan Hari Raya dilakukan hari Jumat, sebab Wuquf dilakukan hari Kamis, bukan Jumat. Sementara pihak lain menganjurkan hari Sabtu, 13 Desember 1975 berdasarkan keputusan Menteri Agama berdasarkan pertimbangan dari Pimpinan Majelis Ulama dan ahli-ahli Hisab dan Ru’yah. Saat itulah ada yang bertanya pada Buya Hamka, “Sahkah sembahyang Hari Raya hari Sabtu 13 Desember?
Buya Hamka menjawabnya dengan tegas dan elegan soal perbedaan ini: “Setelah Prof. Dr. A, Mukti Ali naik menjadi Menteri Agama, beliau telah mengambil satu kebijaksanaan. Yaitu mendirikan sebuah Panitia tetap ahli Rukyah dan Hisab. Yang duduk dalam Panitia tersebut ialah ahli-ahli hisab dari sekalian golongan yang memakai hisab dan golongan yang mempertahankan rukyah. Supaya setiap tahun diadakan hisab dan rukyah dan dijadikan di antara keduanya sokong-menyokong (saling mendukung, red).” (Sumber: https://buyahamka.org/tanya-jawab/mesti-samakah-hari-raya-dengan-di-mekkah/)
Hamka juga menjelaskan soal perbedaan penentuan Idul Adha Saudi dan Indonesia setelah adanya pengumuman wuquf di Arafah jatuh hari Kamis 1395 H. Dalam penjelasannya, Hamka tetap memerintahkan umat Islam (khususnya bagi yang bukan jamaah Haji) mengikuti apa yang telah diputuskan pemerintah Indonesia. Di bawah ini penjelasan Hamka:
“Wuquf jatuh pada hari Kamis, sehingga sembahyang Hari Raya ‘Idul Adha di Makkah jatuh pada hari Jum’at. Sedangkan di Indonesia telah dilakukan ru’yatul hilal bil fi’li; ternyata bahwa akhir Dzulqa’idah jatuh pada senja hari Rabu 3 Desember 1975.
Oleh karena hasil rukyah yang bersamaan dengan hasil hisab itu telah pasti bahwa 1 Zulhijjah 1395 jatuh hari Kamis 4 Desember 1975, maka Departemen Agama pun mengeluarkan maklumatnya, berdasar wewenang yang ada padanya, bahwa 10 Zulhijjah, hari untuk sembahyang Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Sabtu 3 Desember 1975.
Dan ini diterima dengan lega oleh kaum Muslimin. Dan ini telah sesuai dengan Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam yang kita salinkan di atas tadi. Yaitu, “Puasa kamu ialah di hari kamu semua berpuasa. Berbuka kamu ialah di hari kamu semua berbuka dan Hari Raya Qurban kamu ialah di hari kamu semua berqurban.”
10 Zulhijjah disebut juga “Yaumun Nahr” (Hari Berqurban). Lantaran itu tidaklah wajib bagi kita meninggalkan maklumat yang timbul dari wewenang Menteri Agama, yang menyiarkan hasil rukyah dan hisab yang jelas itu, untuk disamakan dengan Hari Raya Hajji di Makkah, yang menurut perhitungan hisab dan rukyah mereka, mereka lakukan pada 10
Zulhijjah juga.
Tidaklah berdosa orang yang berhari Raya Adha hari Sabtu, karena mereka mematuhi maklumat pemerintahnya yang berdasarkan hasil penyelidikan seksama itu. Dan tidaklah mesti hasil rukyah dan hisab di Indonesia sama harinya, oleh sebab Wuquf di ‘Arafah Hari Kamis.”
Keterangan Buya Hamka tersebut menyimpulkan: Pertama, tidaklah wajib negeri yang berjauhan mengikuti puasa dan berbuka dan Hari Raya Haji, karena mathla’ nya tidak sama.
Kedua, Wuquf di Arafah wajib dituruti oleh jamaah haji, sesuai dengan keputusan penguasa di negeri itu.
Ketiga, Rasulullah memberi peringatan bahwa berpuasa dan berbuka dan berkorban menurut orang banyak. Karena berbeda-beda hari kurang beliau sukai. Namun jika tetap tidak yakin dan ingin melakukannya juga, sebaiknya dilakukan dengan rahasia, bukan disiar-siarkan.
Demikianlah sikap yang harus kita ambil demi persatuan umat. Semoga bermanfaat. (dez)