(Panjimas.com) – “Hidup sederhana, tak punya apa-apa tapi banyak cinta. Hidup bermewah-mewah, punya segalanya tapi sengsara; seperti para koruptor ….”
Begitu penggalan lirik lagu grup rok papan atas negeri ini. Di negeri berpenduduk lebih dari dua ratus enam puluh juta jiwa ini, memang banyak orang bergaya hidup mewah di sekitar sejumlah lebih besar orang yang hidup susah. Sebagian mereka merasa baik-baik saja hidup mewah karena merasa penghasilan besarnya diperoleh dengan ikhtiar halal. Sebagian lagi ada yang mungkin sadar kalau gaya hidup mewahnya itu mengandung dosa karena hartanya mereka dapatkan dengan cara haram. Tapi, tetap saja mereka melanggengkannya.
Baru-baru ini kita disuguhi potret kemewahan segelintir orang yang memiliki usaha biro perjalanan haji dan umrah. Bila diucap sekilas, terbersit di benak kita bahwa mereka orang-orang mulia, pahalanya besar di samping penghasilan yang juga besar. Karena pekerjaannya membantu kaum Muslim menunaikan ibadah. Tapi setelah dibongkar bungkusnya, tampaklah kebusukan mereka. Mereka menggunakan harta untuk berfoya-foya. Bahkan ternyata, harta yang banyak itu merupakan hasil penzaliman terhadap umat yang ingin menunaikan ibadah.
Kita ini Muslim. Kita harus hidup dengan tatanan Islam. Kita sangat prihatin mendengar kabar demikian.
Secara global, al-Qur’an telah menjelaskan cara pengelolaan ekonomi dengan segala penjabarannya, yang intinya mencakup dua hal. Istilah syar’inya “ushuul iqtishaad”, yang terdiri dari husnun nazhari fiktisaabil maal (kecakapan mencari materi) dan husnun nazhar fi sharfihi fi mashaarifihi (kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos pengeluaran yang tepat).
Untuk kecakapan mencari materi, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah:10).
Dan untuk kecakapan menggunakan harta, Dia berfirman,
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu, dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (al-Israa’: 29).
Di samping kedua ayat itu, masih ada banyak ayat dan hadits yang menerangkan perihal harta.
Pastinya, Muslim berakhlak baik adalah yang hidup sederhana dengan harta yang diperoleh lewat ikhtiar halal. Biarpun penghasilannya sangat besar, gaya hidupnya tetap sederhana. Sungguh mengherankan bila ada Muslim tapi hartanya digunakan untuk bermanja-manja, walau memang itu haknya. Apa lagi bila harta itu haram, sungguhlah lebih mengherankan.
Wallahu a’lam. [IB]