(Panjimas.com) – Sebuah hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wassala mengatakan bahwa setiap diri adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Sebagai individu, kita pemimpin bagi diri sendiri. Sebagai kepala keluarga, kita pemimpin bagi segenap anggota keluarga. Sebagai kepala instansi atau wilayah, kita pemimpin seluruh jajaran dan rakyatnya. Kita akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan itu, atas nasib dan ulah siapa saja yang kita pimpin.
Oleh karena itu, sebagai pemimpin kita harus memaknai posisi itu sebagai tanggungjawab, bukan kesempatan mencari keuntungan pribadi. Pemimpin harus bisa mengayomi dan membimbing siapa yang dipimpin. Melindungi dari kecelakaan, dan mengajak menempuh jalan kebaikan dan kebenaran. Kesalahan arah pemimpin yang diikuti oleh yang dipimpin akan berbuah dosa yang berlipat. Dosa tak hanya di saat bertindak, tetapi juga setelahnya dan setelahnya, selama bekas kesalahannya masih ada.
“Kami menuliskan apa-apa yang mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (Yaasiin: 12),
“(Ucapan mereka) menyebabkan mereka memikul dosa-dosanya dengan sepenuh-penuhnya pada hari kiamat, dan sebagian dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun kalau mereka disesatkan. Ingatlah, amat buruk dosa yang mereka pikul itu.” (an-Nahl: 25).
Begitulah tanggungjawab seorang pemimpin. Begitu besar, sehingga setiap tindakan, kebijakan, dan keputusan, mesti diambil dengan penuh kehati-hatian. Mengerti akan hal ini membuat kaum salaf banyak yang enggan menerima jabatan karena merasa dirinya belum mumpuni. Namun saat ini yang terjadi adalah sebaliknya. Orang begitu berani memaksakan dirinya meraih jabatan yang dapat menghasilkan banyak uang. Mereka rela mengeluarkan milyaran rupiah demi kursi yang sebenarnya belum layak mereka duduki. Rupanya gemerlap materi telah menjadi tabir keyakinan bahwa dunia ini lebih tak berharga daripada sehelai sayap nyamuk, dan siksa nerakan tak terbayangkan pedihnya.
Wallahu a’lam. [IB]