(Panjimas.com) – Di era digital ini, kita bisa berkomunikasi dengan sangat mudah. Berbagai informasi dapat diterima dengan secepat kilat, suatu kabar bisa disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia hanya dalam hitungan detik. Dan, guna mendapatkannya, kita tak perlu repot, cukup dengan menekan tombol dan mengusap layar ponsel.
Dengan ponsel canggih yang kini banyak dijual di tepi-tepi jalan sampai gang sempit perdesaan, kita bisa memeroleh ribuan informasi setiap harinya. Andai saja mau menyimaknya satu-persatu, waktu kita akan habis hanya untuk itu. Pada intinya, informasi, baik itu kejadian atau pernyataan orang, berseliweran setiap detiknya, selama 24 jam.
Masalahnya, apakah informasi-informasi yang beredar luas itu semuanya benar? Tidak! Apakah bila pun benar, sebuah informasi pasti berdampak baik bila disebarluaskan di semua tempat? Tidak! Tapi, banyak sekali kaum Muslim yang begitu ringannya menyampaikan informasi dari media sosial kepada orang lain, bahkan kepada khalayak ramai. Bahkan, informasi yang tak begitu dipahaminya, yang asal-usulnya tidak jelas pun, disebarkan juga. Apakah demikian akhlaq Muslim? Tidak!
Tapi saudara-saudara kita yang bersikap begitu sebenarnya berniat baik. Mereka beranggapan apabila informasi itu berasal dari teman mengaji, atau dari grup pegiat dakwah, sudah dianggap aman untuk diterima mentah-mentah dan disebarluaskan ke khalayak. Jadi, ada anggapan bahwa informasi yang diperoleh dari aktivis Muslim yang isinya tampak membela Islam dan Muslim serta menampilkan keburukan pihak-pihak yang dianggap memusuhi Islam, langsung dianggap baik untuk disebarluaskan, dan tindakan itu dianggap sebagai amal shalih.
Pada prinsipnya kita memang harus berbaik sangka (husnudzan) kepada saudara seiman, apalagi pegiat dakwah atau aktivis Muslim. Tapi, kita harus sadar bahwa di dunia maya terdapat banyak sekali jebakan. Informasi dari sumber yang asli berkemungkinan dipelintir di perjalanan. Bahkan pun bila sebuah informasi benar-benar valid sumbernya, dari ustadz sekalipun, tidak selalu baik bila kita menyebarluaskannya tanpa perhitungan. Niat baik saja tidak cukup. Semangat juang saja tidak cukup. Keduanya harus dibarengi dengan strategi matang dan kehati-hatian. Di samping itu, kita juga harus mengerti bahwa dalam menyampaikan nilai-nilai Islam ada metodenya, tidak asal-asalan. Kita harus melihat siapa yang kita beri informasi. Jika salah sasaran, informasi yang baik dan benar sekalipun bisa berakibat buruk. Bila pendekatan dan bahasa komunikasi yang kita pakai tidak tepat, akan berisiko terjadi kesalahpahaman yang berujung munculnya masalah baru.
Dalam menerima dan menyampaikan informasi, kita tak boleh bersikap buru-buru. Harus perlahan, dipahami dengan fikir dan zikir agar mendapat petunjuk pada kebenaran. Untuk menyebarkannya harus dipertimbangkan faedahnya. Harus pula dipilih pendekatan dan pembahasaan yang tepat agar informasi yang benar dapat sampai sasaran dengan efektif dan efisien.
“Pelan-pelan itu dari Allah, sedangkan terburu-buru itu dari setan.” (Musnad Abu Ya’la).
Syaikh Abdul Muhsin al-Badr hafidzahullah pernah ditanya, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman di dalam surat al-Hujurat: 6, apakah berita dari orang yang bukan fasiq boleh langsung diterima, mengingat orang Muslim pada asalnya bersifat adil?”
Ia menjawab, “Menurut asalnya, orang Muslim itu tidak dikenal kejujurannya, sampai diketahui ia jujur atau tidak. Seandainya Muslim itu asalnya benar atau jujur, tentu tidak perlu digelari tsiqoh (dapat dipercaya), atau ia demikian dan demikian. Inilah asalnya Muslim. Tapi manusia bicara tentang ta’dil (pujian) dan jarh (celaan) tsiqoh dan dho’if, kuat atau lemahnya hafalan. Ini bukan berarti jika Muslim tidak dijumpai kelemahannya lalu dihukumi tsiqoh atau dapat dipercaya. Karena pernyataannya dipercaya atau tidak atas dasar ilmu, setelah meneliti keadaannya.” (Syarah Sunan Abi Dawud: 92/28).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya, “Ketika datang orang menyampaikan berita kepadaku, kami berkata, ‘Kami teliti dulu, karena Allah ‘Azza wa Jalla berfirman di dalam surat al-Hujurat: 6.’ Lalu orang itu bertanya kepadaku, ‘Apakah aku ini orang fasiq? Atau Anda menuduh aku fasiq?’ Maka bagaimana pendapat Anda wahai Syaikh?”
Syaikh menjawab, “Meneliti berita dibutuhkan dua perkara. Pertama, dari sisi amanah. Inilah yang dimaksud dalam al-Hujurat: 6, karena orang fasiq tidak amanah. Kedua, dari sisi kekuatan. Yaitu kekuatan ingatannya ketika menerima berita atau menyampaikannya dengan cepat sekali. Maka ketika aku berkata kepadanya, akan kuteliti dulu, bukan berarti aku mengatakan Anda fasiq. Menurutku Anda orang jujur, tapi boleh jadi keliru memahami ayat, atau terburu-buru, atau lupa. Tapi sebaiknya jika menjumpai orang yang lahirnya jujur dalam menyampaikan informasi, kita jangan membacakan al-Hujurot: 6, agar ia tidak tersinggung. Tapi katakan kepadanya, ‘Aku terima beritamu, tapi kami pelajari dulu.’ Tentunya bila hatinya ragu.” (Liqa’ Babil Maftuh: 11/207).
Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ayat ini membantah pendapat orang yang berkata bahwa semua Muslim dapat dipercaya informasinya hingga diketahui cacatnya, karena Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar meneliti berita sebelum menerimanya, dan bukan maksudnya penelitian itu dilakukan setelah dilaksanakan hukum, karena keputusan hakim sebelum mengadakan penelitian boleh jadi menimpakan hukuman yang salah kepada yang dihukum.” (Tafsir al-Qurthubi: 16/311).
Kesimpulannya, tabayyun terhadap sebuah informasi sangat diperlukan, sekalipun diterima dari Muslim yang dipercaya. Tabayyun berbeda dengan buruk sangka, penelitian yang dilakukan adalah demi memeroleh tambahan keterangan. Prinsipnya, kita tak boleh buru-buru menelan begitu saja informasi, apalagi dari media sosial. Apalagi terburu-buru menyebarluaskannya. Mari menjadi Muslim bijak bermedia sosial! Wallahu a’lam. [IB]