(Panjimas.com) – Dikisahkan, di suatu daerah pinggiran kota, berdiri sebuah pesantren yang cukup berusia. Pesantren yang bisa dibilang masyhur karena kearifan yang ada di dalamnya. Terbukti, sering ada tamu datang dari berbagai wilayah, jauh-jauh, bahkan dari luar negeri.
Seperti halnya pada suatu hari. Pak Kiai mendapat kabar akan kedatangan rombongan dari Thailand guna mengadakan studi. Studi kemandirian lembaga pendidikan. Ya, pesantren itu mandiri tak hanya dalam penyusunan kurikulum, tetapi juga secara ekonomi. Dua pertiga tanah pesantren menjadi lahan produktif secara ekonomi. Berupa sawah, kebun hortikultura, dan peternakan. Mulai ayam, itik, kelinci, kambing, kuda, dan sapi. Juga kolam-kolam beberapa jenis ikan. Energinya juga mandiri, pakai sel surya dan kincir angin untuk listriknya. Masaknya pakai biogas, tungku jarak pagar, juga serbuk gergaji dan kayu bakar. Mereka biasa menggunakan bendi sebagai sarana transportasi. Rangkaian sistem a la Swadesi-nya Gandhi ini jelas saja menarik perhatian dunia, menjadi laboratorium ilmu pengetahuan berbagai bangsa.
Pagi itu, usai menerima telepon, Pak Kiai mengomando santri. Sebagian santri putra bertugas menyiapkan tempat peristirahatan tamu, memetik hasil kebun, menangkap ikan, dan sebagainya. Sebagian santri putri bertugas di dapur, menyiapkan jamuan terbaik untuk para tamu. Pak Kiai, sebagaimana biasa, akan menyuguhi bangsa Thai dengan hidangan khas daerah, dengan hasil kebun dan ternak pesantrennya. Tapi ada satu hal lain yang ingin ia suguhkan, yakni dawet, minuman khas daerah yang belum bisa diproduksi sendiri oleh pesantren. Pak Kiai yang biasa turun tangan sendiri, bekerja gotong royong dengan keluarga, para asatidz, dan santri itu; akan membeli di warung dawet satu-satunya di kampung itu.
Esoknya, hari H kehadiran tamu dari Negeri Gajah Putih, pagi-pagi, saat para santri yang ditunjuk sedang melaksanakan tugas yang dibagikan, Pak Kiai menuju parkiran bendi membawa sebuah panci. Ia ingin mendapati dawet yang masih berjumlah maksimal, belum banyak dibeli orang.
“Assalamu’alaikum. Baru buka to, Mas?”
“Wa’alaikumussalam, Pak Kiai. Iya, baru saja tiba,” jawab penjual dawet sambil mengeluarkan mangkok dan mengelapnya satu per satu.
“Beli berapa, Pak?”
“Saya mau beli semua, Mas, kebetulan hari ini mau ada tamu dari Thailand. Saya mau mereka mencoba nikmatnya dawet sampean,” kata Pak Kiai mantab.
“Aduh, Maaf, Pak, jangan semua ya, saya kan harus jualan.”
“Lho, kan semua saya beli, Mas. Sampean kan enak, bisa langsung pulang dan istirahat.”
“Tapi, bagaimana dengan orang lain yang juga ingin minum dawet, kan yang jualan hanya saya di sini, Pak?”
Pak Kiai terperangah, takjub. Ternyata bukan uang tujuan akhir si penjual dawet. Ia berjualan sebagai cara mengabdi, menyumbang peran dalam kehidupan. Ia jualan untuk menjadi pelaksana salah satu tugas kehidupan di antara sekian banyak macam tugas kehidupan. Ia bukan bagian dari kaum materialis, kaum kapitalis, kaum yang serakah, menjadikan uang dan kekayaan materi sebagai tujuan. Penjual dawet ingin menjadi pelayan umat, bukan orang yang memanfaatkan umat untuk kepentingan pribadinya.
“Baiklah, Mas, saya beli sebatas maksimal yang sampean kasih. Dan terima kasih banyak, pagi ini saya mendapat ilmu yang tak terhingga agungnya dari sampean. Terima kasih banyak, Mas.”
Pak Kiai pulang dengan senyum keharuan, udara pagi yang hangat nyaman seperti merasuk ke relung hatinya yang terdalam. Dalam iklim keterjajahan umat seperti ini, ada seorang pedagang kecil tepi jalan yang masih “kokoh berdiri”. Jiwa itulah yang selama ini ia bangun lewat pesantren yang ia dirikan. Untuk mendidik diri, untuk mendidik keluarga, mendidik asatidz, juga santri; agar senantiasa ingat akan visi kehidupan.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (az-Zariyat: 56-57).
Wallahu a’lam. [IB]