(Panjimas.com) – Ukhuwah, indah bagai bunga hias di taman-taman kota. Bunga indah hanyalah bunga asli, tumbuh dari nutrisi diserap akar, diolah dedaunnya. Bukan, bukan bunga imitasi buatan jemari dan mesin-mesin industri. Tak punya ruh, tak punya aura teduh.
Bunga indah di taman kota butuh dirawat tangan warganya. Bunga indah di alam bebas terawat oleh keberlangsungan rantai kehidupan. Air, unsur hara, sinar surya, sepoi gas asam arang nan gemulai di siangnya. Bunga indah di taman kota perlu dipupuk dan sirami demi indahnya lestari. Seperti bunga, ukhuwah begitu pula, perlu dipupuk dan sirami agar indahnya lestari.
Salah satu jenis “pupuk ukhuwah” adalah hadiah. Saling memberi hadiah termasuk amalan sunnah. Terlebih bila barang yang dihadiahkan bernilai guna sangat besar bagi kehidupan. Barakahnya tak hanya ukhuwah subur nan indah, tumbuh pula buah-buah manis yang bisa dipetik di kemudian hari, bisa dinikmati ramai makhluk di bumi, lintas generasi.
Bicara tentang hadiah, barang-barang yang telah mentradisi di bangsa ini adalah pakaian, perhiasan, kudapan, dan mainan anak. Bagus, itu bentuk-bentuk hadiah yang bagus. Saudara-saudara yang kurang sandang akan sangat bahagia menerima hadiah baju-celana. Anak sekolah yang hanya punya sepasang sepatu akan tertolong pada musim penghujan, tak kerepotan mengeringkan sepatu satu-satunya di atas tungku usai kehujanan.
Kudapan, sekotak kue basah akan sangat berarti bagi tetangga yang kehabisan beras, yang mengajak anak istri menahan lapar karena malu menambah hutang di warung sebelah. Boneka murahan adalah “emas permata” bagi
anak penghuni kolong jembatan yang saban hari hanya mampu menelan ludah waktu melihatnya di etalase toko saat memungut botol buangan.
Tapi, apakah orang-orang senasib mereka yang lazim kita beri hadiah? Tidak! Kita mentradisikan hadiah untuk orang-orang tersayang, karib kerabat yang berulang tahun, yang menerima tanda prestasi akademik. Mereka bukan orang-orang kekurangan, mereka orang-orang berlimpah sandang, pangan, dan rupa-rupa fasilitas hiburan.
Melihat kenyataan demikian, kiranya barang-barang di atas bukanlah terbaik untuk dihadiahkan. Pemberian itu hanya akan menambah “sampah” di kehidupan mereka, menghambat kesadaran zuhud mereka, menjadi pupuk kecintaan pada dunia. Tidak mendidik, hadiah-hadiah itu tak membuat mereka kian terdidik, kian sadar akan hakikat kehidupan.
“Pupuk ukhuwah” yang paling bermutu untuk orang-orang tersayang adalah buku. Bangsa ini berada di urutan ketiga dari bawah dalam soal minat baca. Kita bangsa kaya sumber alam dan kearifan silam namun belum mampu mensyukurinya. Kekayaan dibiarkan diambil bangsa asing lalu kita menjadi pengagumnya, pengagum para pengambil kekayaan itu. Kita ini ayam yang diumbar di lumbung padi tapi kurus kering, temboloknya kosong. Kita butuh bahan bacaan, kita butuh koleksi buku sebanyak mungkin. Bukan pakaian, perhiasan, kudapan, dan mainan; hadiah paling berharga untuk orang-orang tersayang adalah buku.
“Wahai orang-orang yang beriman! Infaqkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa-apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.” (al-Baqarah: 267).
Mari kita mulai mentradisikan hadiah buku, dan saksikan perubahan yang terjadi sepuluh tahun nanti!
Wallahu a’lam. [IB]