(Panjimas.com) – Sebagai manusia normal, tentu kita semua pernah mengalami keadaan emosi meletup yang dinamakan marah. Marah adalah emosi dasar yang muncul ketika suatu motif dasar atau penting yang seharusnya dipenuhi, terhambat. Secara fitrah, marah itu kewajaran. Cuma, masalahnya adalah bila amarah tak dapat dikendalikan, dapat memunculkan persoalan serius yang merugikan diri dan orang lain.
Media massa tak jarang merilis berita peristiwa penganiayaan akibat amarah yang tak dapat dikendalikan. Berawal dari rasa cemburu, sakit hati, dan kebencian yang sangat, tindakan sadis dijadikan bentuk pelampiasan. Tentu saja, Islam sangat tidak menghendaki hal ini. Islam mengajarkan pengendalian diri. Selain menahan syahwat, kaum Muslim juga harus kuat dalam mengendalikan amarah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang lelaki memohon kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, “Berilah aku wasiat.” Beliau bersabda, “Jangan marah!” Lelaki itu mengulangi permohonannya berulang kali, tapi beliau (tetap) bersabda, “Jangan marah!” (Hr. Bukhari).
Artinya, mengendalikan amarah adalah perbuatan yang sangat penting dan utama. Bahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tindakan itu dikatagorikan sebagai salah satu tanda ketaqwaan manusia.
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134).
Sekali lagi, marah itu kewajaran. Cuma masalahnya adalah bila amarah tak dapat dikendalikan, dapat memunculkan persoalan serius yang merugikan diri dan orang lain. Untuk itu, sebagaimana wasiat Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam tadi, amarah harus dikendalikan, jangan dilampiaskan sembarangan. Beliau sudah menunjukkan kiat melakukannya. Setidaknya ada dua kiat praktis membuat amarah menjadi redam dan dapat dikendalikan. Pertama, dengan
merilekskan badan.
“Jika salah seorang dari kalian marah, sedang ia dalam posisi berdiri, maka hendaknya ia duduk, karena itu dapat meredam amarahnya. Jika belum mampu, maka hendaknya ia berbaring.” (Hr. Abu Dawud dan Ahmad).
Kedua, dengan berwudhu.
“Sesungguhnya marah itu dari setan, dan sesungguhnya setan itu dari api, dan api itu hanya bisa padam oleh air. Maka jika salah seorang dari kalian marah, berwudhulah!” (Hr. Abu Dawud).
Akhirnya, mari bersama melatih diri mengendalikan amarah, agar kehadiran kita di tengah umat tidak menimbulkan masalah, tapi sebaliknya, menebar rahmah!
Wallahu a’lam. [IB]