(Panjimas.com) – Diucap kata ‘akhlaq’, terbersit di benak kita bagaimana bersikap baik kepada orang lain, menghormati dan menghargai mereka; memberikan yang terbaik untuk mereka. Saat sedang punya hajat, misal saja, tamu undangan kita suguhi hidangan lezat nan tampil memikat. Pastinya bukan ubi rebus dengan nampan bambu anyam sebagai wadah, melainkan kue-kue aneka rasa yang kemasannya “bercerita” bahwa kita semua adalah masyarakat kekinian, terbelakang bila tidak bersentuhan dengan produk pabrikan. Kue-kue itu berbalut plastik, ditata rapi di dalam kardus. Satu kardus untuk satu tamu.
Hidangan beratnya dikemas secara serupa. Dengan kardus lebih besar yang di dalamnya diberi alas mika dengan bentuk sedemikian rupa. Ada cekungan tempat nasi, tempat sayur, dan tempat lauk. Sambalnya dikemas tersendiri, semacam tempat agar-agar berbahan plastik. Selembar kerupuk udang dibungkus plastik biar awet renyah. Disediakan pula sendok dari plastik dan sehelai kertas tisu. Semua dikemas jadi satu dalam kardus itu. Minumannya air tawar dalam kemasan gelas plastik lengkap dengan sedotannya. Semua kemasan sekali pakai: setelah dipakai langsung dibuang, bukan dicuci dan digunakan lagi lain kali.
Begitulah cara menjamu tamu yang baik, menurut mayoritas orang zaman ini.
Mari kita tilik zaman Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Apakah beliau memakai cara yang sama dalam menyajikan hidangan untuk tamu kehormatan? Tidak, karena waktu itu belum ada kemasan makanan model begitu: pabriknya belum didirikan. Beliau selalu menggunakan bahan-bahan alam. Lantas, bukankah itu bid’ah karena tak sesuai sunnah? Bukan, karena ini urusan duniawi, bukan ibadah. Begitu para ustadz masakini memberi jawaban.
Bukan saja mayoritas manusia, mayoritas Muslim zaman ini sepertinya berpendapat sama: cara menjamu tamu seperti itu adalah sangat baik dan terhormat. Cara itu membuat tamu mesara dihormati dan dihargai, pun merasa puas.
Tapi apakah itu cara terbaik? Ada atau tidak, cara lain yang lebih baik? Atau… apa benar cara itu lebih baik daripada menyuguhi tamu dengan ubi rebus hangat pakai nampan bambu anyam yang dilapis daun pisang? Adakah tinjauan ilmiah yang dapat mengungkap bahwa sajian ubi rebus itu lebih baik?
Sekarang mari kita coba memahami akhlaq secara lebih lapang, tidak sebatas sikap baik terhadap sesama manusia dalam artian sesuai selera keinginan/kenikmatan duniawi. Sesungguhnya akhlaq yang sejati adalah bagaimana bersikap santun terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, yakni menetapi adab kehidupan yang telah Dia wahyukan. Yang mana bila itu diterapkan, pasti menghasilkan pancaran cahaya akhlaq mulia terhadap sesama makhlukNya, termasuk juga manusia. Mari kita belajar bersama…
Allah subhanahu wa ta’ala adalah pemilik mutlak alam semesta yang telah diciptakanNya (makhlukNya). Pada hakikatnya kita tak punya secuil pun bagian dari alam ini, bahkan pun diri kita sendiri. Misalnya kita punya sebidang tanah yang sudah bersertifikat. Walau secara legal formal sudah jadi milik pribadi, tapi sejatinya tidak, tanah itu tetap milik mutlak Allah subhanahu wa ta’ala.
“Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagiNya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.” (al-Furqan: 2).
Tapi meski memiliki secara mutlak, Allah subhanahu wa ta’ala secuil pun tidak butuh alam ini. Dia tidah butuh apa pun yang telah diciptaNya. Semua makhluk Dia cipta agar saling memberi dan menerima sesuai niche ekologis masing-masing. Begitulah cara Dia membagi rezeki kepada setiap makhluk.
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (az-Zukhruf: 32).
Allah subhanahu wa ta’ala juga menetapkan sunatullah bahwa alam semesta memerlukan pemeliharaan agar dapat berfungsi dengan baik secara lestari. Dan untuk ini Dia punya cara super canggih yakni dengan melibatkan makhluk-makhlukNya, tentu saja termasuk manusia. Untuk manusia, pelibatan ini merupakan cara Dia menguji. Karena manusia adalah spesies istimewa, ia makhluk bertanggung jawab yang akan menuai hasil perbuatannya selama di dunia.
“…. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pemelihara segala sesuatu.” (Hud: 57).
Setiap makhluk dicipta dengan memiliki niche ekologis. Niche ekologis adalah tugas setiap makhluk dalam menjalani eksistensinya di alam semesta. Bekerjanya niche ekologis membuat terjadinya daur energi. Daur energi adalah sistem bergulirnya rezeki (baca: al-Baqarah: 22). Dalam Biologi, contoh daur energi adalah rantai makanan.
Bila niche ekologis setiap makhluk berjalan baik, terjadilah daur energi yang sehat, seimbang, berkelanjutan; sehingga terciptalah kehidupan yang harmonis, makmur, dan lestari. Namun bila ada sebagian makhluk yang tidak melaksanakan niche ekologisnya dengan baik, terjadilah berbagai persoalan. Persoalan pangan, kesehatan, kependudukan, keamanan, dan sebagainya. Dan ternyata, makhluk yang berpotensi tidak melaksanakan niche ekologis dengan baik adalah manusia dan jin, karna mereka makhluk yang diuji dan akan dipertanggungjawabkan amalnya. Berbeda dengan makhluk lain yang tak mungkin melakukan dosa, yang senantiasa bertasbih dengan cara masing-masing (baca: al-Isra’: 44).
Lantas bagaimanakah bentuk ketidakbaikan penggunaan niche ekologis manusia? Adalah dengan bertindak eksploitatif dan destruktif. Berlebihan (israf) dalam mengambil kekayaan alam dan menimbulkan pencemaran dalam proses pengambilan, pengolahan, pendistribusian, hingga penggunaannya. Bila kita yakin bahwa lingkungan adalah milik mutlak Allah ta’ala dan bukan milik kita, tentu sebagai manusia berakhlaq, kita akan tahu diri; menggunakan niche ekologis kita dengan baik, tidak berperilaku pongah dan sewenang-wenang dalam kehidupan.
Tentang penggunaan niche ekologis ini, Allah subhanahu wa ta’ala memotivasi kaum beriman agar berusaha berperilaku yang terbaik dalam kehidupan demi kebaikan bersama, demi kelestarian alam.
“…. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan ….” (al-Baqarah: 148).
Kembali ke masalah hidangan, bila ditilik dengan tijauan ini, ketemulah jawaban bahwa sajian ubi rebus lebih terhormat, lebih berakhlaq, daripada hidangan a la masyarakat industri modern saat ini, karena dampak kesehatan dan lingkungannya lebih baik. Ubi rebus lebih sehat daripada pangan olahan, dan kemasan bambu anyam dan daun pisang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan seperti halnya kemasan kertas dan plastik. Berarti, dengan menyajikan ubi rebus dalam wadah alami, si bersangkutan telah menggunakan niche ekologisnya secara lebih baik, karena tidak berlebihan dan menimbulkan pencemaran.
Terhormat tidaknya hidangan sejatinya adalah persoalan budaya. Budaya bisa berubah sesuai cara pandang dan wawasan masyarakat setempat. Maka itu, kaum Muslim harus meluaskan wawasan lingkungannya agar mampu membangun peradaban yang benar-benar mengikuti sunah, yakni peradaban bijak lingkungan.
Wallahu a’lam. [IB]