(Panjimas.com) – Di pasar, berulang kali penulis mengalami kejadian ditipu pedagang. Saat tawar-menawar, pedagang bilang bahwa harga kulakannya sekian; harga yang penulis ajukan masih di bawah harga kulakan. Tapi, setelah penulis beranjak beberapa langkah, ia memanggil, memberikan dagangan yang katanya rugi bila dibeli dengan harga tadi. Tak mungkin, sangat tak mungkin pedagang-pedagang itu mau rugi. Ekspresi wajahnya saja tak menampakkan kekecewaan. Artinya, harga kulakan yang ia katakan hanyalah bualan. Astaghfirullah.
Cara berdagang semacam itu, secara nominal bisa saja menguntungkan. Tapi, sudah pasti keberkahan penghasilannya berkurang atau bahkan hilang. Penipuan dalam jual beli jelaslah haram. Dapat untung uang, tapi dapat dosa membohongi orang. Pembeli yang seharusnya dilayani dengan sebaik mungkin malah ditipu. Biar secara lahiriah ucapannya tampak manis, tapi batinnya melancarkan kejahatan. Sungguh tak pantas pedagang Muslim berbuat demikian.
Tapi sayang, para pedagang model begini sering kali penulis dapati berpenampilan Muslim. Dan nyaris bisa dipastikan mereka memang Muslim.
Menyaksikan kenyataan demikian, kita harus melakukan upaya terapi umat dalam kaitannya dengan masalah rezeki. Jangan sampai umat ini berlama-lama “berenang” di dalam “kolam” ketakutan. Takut dagangannya tak akan laku dan usahanya akan bangkrut; takut kebutuhan hidupnya tak akan tercukupi bila tak membohongi.
Ketakutan semacam ini merupakan ancaman masa depan umat yang harus disirnakan. Ketakutan ini akan berbuntut kecurangan bermuamalah yang mengakibatkan hilangnya keberkahan rezeki dan menumpuknya dosa menzalimi. Hadits berikut ini kiranya perlu kita resapi bersama guna menguatkan keyakinan di dada bahwa rezeki halal sejatinya sudah Allah ta’ala jatahkan untuk setiap hambaNya, tak perlu dikhawatirkan akan luput dari diri setiap calon penerimanya.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Sesungguhnya Ruhul Qudus (Jibril) telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan ia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertaqwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (Hr. Thabrani).
Untuk lebih memantabkan lagi, mari resapi atsar Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu yang dicatat dalam Kitab Hilyatul Auliya’ berikut ini.
“Seorang mukmin dan seorang fajir (orang yang gemar bermaksiat) sudah ditetapkan rezeki baginya dari yang halal. Jika ia mau bersabar hingga rezeki itu diberikan, niscaya Allah akan memberikannya. Namun jika ia tidak sabar lantas ia tempuh cara yang haram, niscaya Allah akan mengurangi jatah rezeki halal untuknya.”
Ya, kita harus dalam keadaan tenang, tak perlu gundah, takut tak mendapatkan rezeki yang cukup guna memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga. Kita manusia, makhluk paling sempurna yang Allah ta’ala bekali akal fikiran yang bersifat dinamis, kreatif, dan terus berkembang. Tidak boleh tidak, kita harus percaya diri bahwa dengan bekal itu, kaum beriman sejatinya dapat berikhtiar halal guna memeroleh rezeki yang cukup. Ya, karena binatang saja, yang tak dibekaliNya akal yang dinamis, kreatif, dan berkembang; yang hanya dibekali insting semata, Allah ta’ala mencukupi kebutuhannya.
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Ankabut: 60).
Jelas sudah, tak ada alasan sedikit pun yang dapat dibenarkan untuk kita mencari rezeki dengan jalan curang, dengan menzalimi orang, dengan menipu pembeli. Jalan lurus saja, rezeki halal jatah kita sudah pasti akan hadir menyambut usaha yang jujur, yang dijalankan sekuat tenaga.
Wallahu a’lam. [IB]