(Panjimas.com) – Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bernasihat, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya!” Para shahabat menjawab, “Kami sudah malu, ya Rasulullah.” Nabi meluruskan, “Bukan itu, malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan organ-organ yang terletak di kepala, menjaga perut dan organ-organ yang berhubungan dengan perut, dan mengingat kematian serta saat badan hancur di dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang meninggalkan hal-hal tersebut, maka ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hr. Tirmidzi).
Sudah seberapa kadar rasa malu kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Ah, rasanya malu menjawabnya. Memang sangat memalukan diri seorang Muslim yang tak punya malu kepadaNya: Muslim yang tak menjaga dirinya dari perbuatan tercela.
Ironisnya, sering kali kita merasa malu kala kelakuan buruknya diketahui orang yang dianggap terhormat. Kala tak ada orang yang tahu, atau hanya orang-orang “biasa” yang menyaksikan kelakuan buruk kita, rasanya biasa, tak terbersit malu sedikit saja. Artinya, malu kita cenderung menuju ke manusia, bukan Allah ta’ala.
Itulah potret manusia yang memalukan. Punya malu hanya tertuju kepada orang, bukan kepada Dzat Yang Maha Menyaksikan. Jelaslah, ini masalah iman. Malu yang lebih tertuju kepada sesama makhlukNya adalah tanda tipisnya iman di dada. Sebaliknya, malu yang lebih dominan tertuju kepada Allah ta’ala adalah tanda tebalnya iman di jiwa.
Mari baca kembali hadits di atas, resapi dan renungi sejenak. Lalu coba tanyai diri, bagaimana keadaan iman kita kini? Wallahu a’lam. [IB]