(Panjimas.com) – Peristiwa banjir tak jarang kita dengar kabarnya. Banjir adalah keberlebihan suplai air ke suatu wilayah yang menyebabkan lokasi yang seharusnya daratan menjadi perairan. Dalam skala kecil, banjir menimbulkan ketidaknyamanan. Dalam skala besar, ia menimbulkan ketidaknyamanan sekaligus ketidakamanan.
Banjir adalah buah ketidakharmonisan hubungan antar makhluk Allah subhanahu wa ta’ala di dunia. Misal saja eksploitasi berlebihan atas hutan yang membuat air hujan tak terikat perakaran. Soal lain adalah penutupan permukaan tanah secara berlebihan, area resapan air kurang dan tak mampu menyerap air hujan. Soal lain lagi adalah penyumbatan saluran. Got, gorong-gorong, dan selokan yang tersumbat sampah membuat aliran air tertahan lalu meluap ke daratan. Itu banjir sungai. Kalau banjir laut disebabkan mencairnya bongkah-bongkah es di kutub oleh pemanasan global. Pemanasan global adalah buah kebejatan moral manusia yang rajin mencemari udara.
Artinya, banjir bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah buah kerusakan akhlaq. Banjir hanyalah jasad dari ruh yang rusak.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia ….” (ar-Ruum: 41).
Namun rupa-rupanya banyak manusia tak begini alur pikirnya. Bagi mereka, banjir adalah peristiwa alam (fisik), dan antisipasinya pun cukup dengan pendekatan fisik.
Dibuatlah saluran air besar dengan biaya yang sangat besar. Dan rupa-rupanya, proses pembuatannya menimbulkan kerusakan-kerusakan komponen alam yang sangat kita butuhkan. Tumbuh-tumbuhan, pepohonan: para pengikat air tanah dan penyerap polusi udara.
Apakah saluran air itu akan berfungsi optimum dalam jangka lama? Rasanya tidak. Kebejatan moral manusia akan membuatnya tak lagi berarti di esok hari. Merasa aman dari risiko genangan air hujan, manusia berakhlaq hina akan merasa dimanja. Mereka akan seenaknya menutup permukaan tanah dengan bangunan-bangunan megah, akan seenaknya mengonsumsi produk-produk industri yang menyisakan banyak sampah. Sampah-sampah itu akan memburai di sekeliling keranjang sampah lalu terbang dihempas angin dan masuk ke saluran air. Saluran air yang dibangun dengan dana besar akan rusak lebih cepat dari hitungan ideal.
Rupa-rupanya banyak manusia terbiasa berpikir parsial. Memandang banjir, yang dipikir hanya keberlebihan air. Padahal bencana terjadi bukan saja ketika jumlah air berlebihan. Kekurangan air pun bencana. Peristiwa kekeringan jadi berita tiap kemarau tiba. Kemarau adalah bencana bagi beberapa wilayah di dunia.
Bila air hujan dibuang sebanyak-banyaknya ke laut, sementara permukaan tanah di daratan ditutup seluas-luasnya, air yang meresap ke tanah kecil jumlahnya. Akhirnya, persediaan air tanah tak mencukupi kebutuhan makhluk hidup setiap harinya. Terjadilah kekeringan, kehausan, kedekilan karena kurang mandi dan cuci pakaian. Sawah ladang tak menghasilkan, terjadilah krisis pangan. Rerumputan kering kerontang, sapi kerbau tinggal kulit dan tulang. Produksi oksigen berkurang saat deru mesin kendaraan kian memenuhi jalan, menebar karbon monoksida ke udara. Potret buruk lingkungan macam itukah yang kita inginkan? Yang akan kita wariskan untuk generasi mendatang?
Banjir itu masalah akhlaq. Bencana lingkungan itu buah moral yang bejat. Antisipasi dan penanganannya harus menyentuh ranah akhlaq, bahkan inilah yang utama. Akhlaq yang mulia akan mewujud gaya hidup bijak lingkungan. Infrastruktur sederhana sudah membuat hidup aman sentosa dalam masyarakat berakhlaq mulia. Sebaliknya, infrastruktur seampuh apa pun yang di bangun dengan biaya berapa pun, bila penggunanya masyarakat bermoral bejat, akan hancur dengan segera.
Saatnya kita sadar bahwa sekularisme hanyalah kibulan setan. Harus ditinggalkan! Tidakkah kita ingat kisah banjir kaum Nuh alaihissalam yang abadi dalam al-Qur’an? Ia bukan masalah fisik, ia terjadi karena rusaknya iman (baca al-Mukminun: 23-30). Wallahu a’lam. [IB]