(Panjimas.com) – Sejak dua tahun lalu, tiap tanggal 22 Oktober bangsa Indonesia memeringati Hari Santri Nasional. Menilik sejarahnya, Hari Santri merujuk pada peristiwa Resolusi Jihad K.H. Hasyim ‘Asy’ari. Tapi tulisan ini tidak akan mengungkap sejarahnya, kita akan berfokus pada istilah santri dan pesan tersiratnya.
Santri adalah sebutan bagi orang yang sedang menempuh pendidikan formal di pesantren. Tapi boleh juga dimaknai lain. Murid Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ) juga lazim dinamakan santri. Di perdesaan, orang kampung yang awam ilmu agama, menyebut Muslim yang rajin pergi ke masjid, yang bisa mengumandangkan azan, yang aktif menghadiri majlis taklim dan majlis zikir, sebagai santri.
Santri yang sesungguhnya, selalu lekat dengan aktivitas menimba ilmu, khususnya ilmu agama. Santri TPQ begitu juga. Agak berbeda kaum “santri” versi orang kampung, mereka lebih identik dengan amalan bacaan dan muraja’ah hafalan. Dalam tradisi kampung, mereka lazim diperankan sebagai juru doa, praktisi zikir dan tadarus dalam berbagai upacara adat yang berbau agama. Masyarakat awam menganggapnya sebagai kaum yang lebih dekat dengan Tuhan. Dihormati, disegani.
Santri, dalam pemaknaan mana saja selalu berkonotasi positif. Bahkan istilah “santri mbeling” pun, yang terjemahan bebasnya adalah santri nakal, tetap melekat padanya makna yang baik. Julukan “santri mbeling” lazim disematkan pada aktivis Muslim yang nyeleneh, punya cara “aneh” dalam memerjuangkan Islam.
Santri dan kebaikan selalu identik seperti dua sisi mata uang. Karenanya, bolehlah kita menafsiri maknanya lebih luas lagi, yang memungkinkan lebih banyak kaum Muslim berhak menyandangnya. Agar kita pun jadi “santri” juga.
Tapi ingat, sekali lagi santri selalu identik dengan kebaikan. Bila diri kita santri juga, sudah pasti gerak langkah sehari-hari harus menapaki rel kebaikan yang telah Allah ta’ala gariskan. Santri pun identik dengan aktivitas menimba ilmu dan pengamalannya. Bila diri kita santri juga, haruslah melanggengkan aktivitas thalabul ‘ilmi dan mengamalkannya sesuai kemampuan. Santri selalu mendapat kehormatan. Untuk layak dihormati, si bersangkutan harus menjaga akhlaq dalam pergaulan. Bila kita santri juga, akhlaq harus dipelihara. Dan santri selalu diperankan sebagai “jembatan” umat menuju Tuhan. Inilah puncaknya. Bila kita santri juga, haruslah aktif membenahi kehidupan. Santri tak boleh diam dan hanya ikut-ikutan. Santri harus jadi agen perubahan dari keburukan menuju ke kebaikan, dari murka ke ridhaNya.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah ….” (Ali Imran: 110).
Di tengah masyarakat majemuk, kita adalah “santri” yang harus mengupayakan peningkatan kualitas kehidupan dengan cara menerapkan sistem kehidupan yang lestari-berkelanjutan, mengikis-melawan kerusakan budaya dan lingkungan!
Wallahu a’lam. [IB]