(Panjimas.com) – Banyak cerita bahwa zaman dulu banyak pertapa. Ada pula kisah orang berulah demi menghindari fitnah. Itu zaman dahulu kala, entah kini masihkah ada? Yang pasti, saat ini kita bukan mereka. Kita penduduk bumi yang hidup dalam komunitas manusia. Kita punya tetangga, sahabat, keluarga, mitra kerja, guru, murid, dan lainnya. Artinya, hari-hari kita tak lepas dari pergaulan dengan sesama manusia dengan berbagai macam sifat dan karakternya.
Dalam pergaulan, kadang kita merasa malu kepada orang lain karena sesuatu. Tapi apakah sebenarnya sesuatu itu pantas membuat kita merasa malu?
Kian hari, populasi manusia kian tinggi. Terlebih lagi di kota. Sejalan dengannya, produksi barang komoditi datang pergi silih berganti. Merek baru terus bermunculan, model baru terus diciptakan. Pakaian, kendaraan, gadget, makanan-minuman; tersedia dalam banyak pilihan. Persaingan bisnis begitu sengit, semua ingin merebut pasar.
Situasi demikian mau tak mau berpengaruh pada kondisi psikis masyarakat. Apalagi iklan dibuat begitu memikat dan terus-menerus dihembuskan. Alhasil, produk terbaru selalu jadi incaran.
Masyarakat yang ekonominya mapan berkesempatan besar mencicipi setiap apa pun yang ditawarkan. Walau pakaian sudah berjejal di lemari, tetap saja beli dan beli, lagi dan lagi. Begitu pun makanan-minuman. Bermacam bentuk dan warna produk di etalase pusat perbelanjaan diborong pulang walau akhirnya sebagian hanya terbuang. Begitu pun kendaraan, begitu pun perangkat komunikasi dan hiburan.
Hedonisme yang lahir di belahan bumi Barat sepertinya sudah mewabah di tengah kehidupan Bangsa Timur. Dan rupanya kaum Muslim yang mayoritas hidup di sana belum mendapatkan imunisasi yang memadai sehingga isme yang bertentangan dengan aqidah Islam ini bisa menjangkiti. Banyak Muslim menjadi korban wabah berbahaya ini. Dan sedihnya, bukan saja kalangan awam, aktivisnya pun kena. Bahkan, disadari atau tidak, sebagian mereka turut serta dalam mengampanyekan paham sesat-menyesatkan ini. Astaghfirullahal ‘adziim.
Hedonisme itu sesat dan menyesatkan karena menganggap kenikmatan duniawi adalah tujuan. Padalah jelas, aqidah Islam menegaskan bahwa dunia hanya sawah ladang tempat menanam dan akhirat adalah ruang dan waktu mencecap hasilnya.
Bila diteliti, rasa malu jadi salah satu sebab kaum Muslim tertimpa musibah ini. Malu yang salah tuju. Rasa malu, seharusnya tertuju kepada Allah ta’ala: malu bila tak mengindahkan ayat-ayatNya. Tapi, dalam pergaulan dengan sesama, banyak orang lupa malu kepadaNya tapi sering kali malu kepada sesama karena sesuatu yang tak mengandung dosa.
“Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya!” kata Rasulullah. Para shahabat menjawab, “Kami sudah malu, ya Rasulullah.” Beliau meluruskan, “Bukan demikian. Yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala beserta organ-organ yang terletak di kepala, menjaga perut beserta organ-organ yang berhubungan dengan perut, dan mengingat kematian beserta saat badan hancur di dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang meninggalkan hal-hal tersebut, maka ia telah merasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hr. Tirmidzi).
Apakah kita orang yang merasa malu bila pakaian yang dipakai hanya itu-itu saja? Apakah kita orang yang merasa malu bila tetap berkendaraan usang dan tak juga ganti gaya sementara orang lain punya yang baru semua? Apakah kita orang yang merasa malu bila ponselnya masih model lama sementara orang lain sudah pakai keluaran termuda? Apakah kita orang yang merasa malu bila tiap hari hanya lauk tempe tahu sementara orang lain selalu membincangkan pengalaman makan di mana-mana?
Apakah kita orang yang merasa malu saat mengalami itu semua, sementara bila melakukan gaya hidup mewah tidak merasa malu kepada Allah ta’ala padahal pada saat yang sama banyak tetangga hidup susah; banyak gelandangan terlunta-lunta; dan di seberang lautan sana saudara kita seiman terusir dan terancam nyawa dan aqidahnya?
Akal di kepala, hati di dada; mari gunakan keduanya! Semoga kita bukan orang yang merasa malu padahal sejatinya tak tahu malu. Wallahu a’lam. [IB]