(Panjimas.com) – Sebuah peradaban besar dibangun dari komunitas terkecil manusia, lalu atasnya, lalu atasnya, dan seterusnya. Keluarga adalah komunitas terkecil yang dimaksud. Rumah tangga yang teratur dan mandiri memberi pengaruh kultural yang tak bisa diremehkan dalam mewujudkan negara yang beradab dan berdaulat.
Sepertinya kebanyakan orang tidak meyakini hal itu. Di era modern ini, banyak orang beranggapan bahwa urusan rumah adalah perkara remeh temeh yang tak perlu ditempatkan pada posisi utama. Energi para kepala rumah tangga lebih banyak dihabiskan untuk urusan luar rumah, urusan pekerjaan, mencari maisyah.
Para aktivis Muslim merasa ringan berucap: “sibuk mengurus umat” sampai rumahnya sendiri tak terawat.
Pekerjaan rumah tangga adalah tanggung jawab istri atau ibu rumah tangga. Begitu umumnya orang berpendapat. Padahal dalam kenyataan, wanita karier bukan fenomena asing di lingkungan kita. Sangat banyak ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah selama tujuh jam sehari. Sementara pekerjaan rutin rumah tangga sebuah keluarga kecil tak cukup dikerjakan dengan baik dalam waktu dua jam oleh satu orang. Apalagi bila keluarga itu punya anak kecil, punya lansia yang tak lagi mampu memenuhi keperluannya sendiri. Akhirnya, rumah berantakan menjadi pemandangan harian. Dan sedihnya, itu dianggap wajar dan bukan persoalan.
Bila Anda orang yang sering mengeluhkan kecarutmarutan negara, kiranya lebih bijaksana bila mencoba berintrospeksi. Coba amati kondisi rumah Anda, sudahkah bersih dan rapi, sudahkah sampahnya terkelola dengan baik?! Bila ternyata rumah Anda masih berantakan setiap hari, berlapang dadalah menerima kenyataan negeri yang carut marut sana sini!
Sebuah negara terdiri dari jutaan keluarga, rumah tangga. Bila berjuta rumah tangga itu dirawat dengan baik, tertata rapi fisik dan budayanya, tentu kehidupan berbangsa dan bernegara juga akan berjalan dengan penuh keteraturan, keberadaban. Bila jutaan kepala rumah tangga itu sadar akan pentingnya mewujudkan rumah yang bersih dan rapi, insya Allah negaranya akan lebih indah fisik dan budayanya. Tanah air yang kita huni akan terawat dan tidak lekas rusak.
Selain keteraturan dan keterawatan, kemandirian menjadi hal yang sama pentingnya. Bila sebuah keluarga memenuhi kebutuhan harian dan perabot rumah tangga dengan membeli dan membeli, dengan tradisi belanja tingkat tinggi; terciptalah budaya konsumtif yang akan naik ke tingkat atasnya, atasnya, dan atasnya. Alhasil, terciptalah sebuah bangsa importir, sedikit-sedikit impor, sedikit-sedikit impor. Sebaliknya, bila sejak di tingkat keluarga sudah dibangun mental produktif, kreatif, dan mandiri, insya Allah akan tercipta bangsa yang mandiri, negara yang berdaulat: mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dengan apa yang ada di bumi pertiwi. Kita harus sadar, negara kita sebenarnya sangat kaya hasil alam dan budaya. Kita punya semuanya, namun sayang, ada satu bekal penting yang terlupakan: jiwa kemandirian. Ini musibah besar!
Sungguh indah bila di rumah ada tanaman yang bisa dipetik hasilnya untuk dikonsumsi, meski tak seberapa jumlahnya. Sungguh indah bila di rumah ada perabot hasil kreasi sendiri, meski lebih sederhana dari yang dijual di toko. Walau secara materi tak begitu berharga, tapi semua itu punya keunggulan yang sangat berarti: membangun mental produktif, kreatif, mandiri. Istri dan anak-anak kita harus mengenyam pendidikan ini!
Mari berendah hati dan berguru pada Nabi. Mari kita baca dan cerna penuturan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha perihal kinerja Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam di rumahnya.
“Beliau melakukan seperti apa yang salah seorang dari kalian lakukan saat membantu istrinya. Beliau membenahi sandalnya, menjahit bajunya, dan membawa air dengan bejana.” (Hr. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban 5676).
Jiwa apakah yang Rasulullah contohkan dalam hadits ini? Jiwa konsumtif ataukah kreatif-produktif? Jiwa memberantakkan ataukah merawat?
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat, dan yang banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21). Wallahu a’lam. [IB]