(Panjimas.com) – “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepadaKu. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)Ku dan beriman kepadaKu, agar mereka memeroleh kebenaran.” (al-Baqarah: 186).
Allah ta’ala selalu ada untuk hambaNya. Apa pun kita minta, Dia kuasa memberikannya. Tiada cerita bagiNya tak bisa. Sementara kita manusia, tak mungkin lepas dari campur tanganNya, dari pertolonganNya. Tak mungkin sedetik pun kita bergerak tanpa energi dariNya. Maka itu, berdoa kepadaNya adalah kebutuhan hidup manusia, manusia yang punya iman di dada.
Dalam ayat di atas Allah ta’ala telah tegas menyatakan bahwa setiap hambaNya memohon, Dia akan mengabulkan. Tapi apakah itu berlaku untuk siapa saja, untuk manusia macam apa saja?
Tunggu dulu! Sebaiknya kita tahu bahwa Imam Muslim rahimahullah pernah meriwayatkan hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah mengisahkan ada seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, yang rambutnya kusut berdebu. Lelaki itu menadahkan tangan sambil berdoa kepada Allah ta’ala dengan khusyuknya. Tapi ternyata Dia tidak mengabulkannya lantaran satu persoalan: si bersangkutan diliputi barang-barang haram. Makanan dan minumannya haram, pakaiannya juga diperoleh lewat jalan haram.
Allah ta’ala melihat isi hati setiap hambaNya. Dia menilai pribadi dan kelakuannya. Tak hanya itu, Dia pun memerhitungkan cara si hamba dalam memohon kepadaNya.
Dalam Ma’aalimuttanziil, Imam al-Baghawi rahimahullah menulis, “Ada syarat dan adab dalam berdoa, yang mana merupakan sebab dikabulkannya. Siapa memenuhinya, ia akan memeroleh apa yang dipinta, tapi siapa mengabaikannya, ia telah melampaui batas dalam berdoa dan tak berhak dikabulkan permohonannya.”
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (al-A’raf: 55).
Selain menghadirkan hati (khusyuk) dan bersikap tawadhu’ dalam berdoa, rasa optimis juga harus menyertainya.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepadaNya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (al-A’raf: 56).
Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam juga menegaskan,
“Berdoalah kepada Allah dan yakinlah (akan) dikabulkan ….” (Hr. Tirmizi).
Optimisme tumbuh dari benih prasangka baik. Bila kita sudah berbaik sangka bahwa Allah ta’ala akan mengabulkan doa yang kita panjatkan, insya Allah Dia benar-benar akan mengabulkan. Namun bila lisan kita mengucap doa namun hati merasa pesimis akan dikabulkan, bisa jadi Dia benar tak akan mengabulkan.
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Aku (akan) sebagaimana sangkaan hambaKu, dan Aku akan bersamanya bila ia berdoa kepadaKu.'” (Hr. Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Ada dua hal penting kita peroleh dari tulisan ini. Untuk pantas dikabulkan doanya, kita harus (1) memantaskan diri dan (2) memantaskan sikap dalam berdoa. Wallahu a’lam. [IB]