DEPOK (Panjimas.com) – Dalam Pelatihan Penyembelihan Hewan Qurban, Ustaz Ahmad Soleh Firdaus Habibie, S.Pd.I (Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Depok) menyampaikan materi “Fiqh Dzabihah” atau sembelihan.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemuda Muhammadiyah Kota Depok dan Komunitas Golok Depok menggelar Pelatihan Sembelih Halal, Ahad (20/8/2017) di Kampung 99 Pepohonan, Kota Depok. Animo masyarakat untuk mengikuti pelatihan tersebut begitu besar. Apalagi peserta yang ikut tidak dipungut bayaran alias gratis.
Narasumber lainnya disampaikan oleh Ustadz Ahmad Tamami Husein S.Ag (Ketua Komunitas Golok Depok), menjelaskan materi “Teknik Menjatuhkan dan Menyembelih Hewan”.
Diterangkan dalam HR. Muslim, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh, maka bunuhlah dengan ihsan, jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan ihsan. Hendaknya kalian mempertajam pisaunya dan menyenangkan sembelihannya.”
Qurban secara istilah, kata Ustaz Habibie, adalah usaha pendekatan diri seorang hamba kepada Penciptanya dengan menjalankan apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. “Qurban dalam bahasa Arab adalah al-uhiyah, diambil dari kata adha yakni permulaan siang setelah terbitnya matahari.”
Penyembelihan yang sesuai syariat itu meliputi: Penyembelihan binatang berupa unta, sapi dan kambing untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan Hari Tasyrik yang jatuh pada hari ke-11, 12 dan 13 Dzulhijah.
Kemudian, al Hadyu, yakni hewan ternak yang disembelih di tanah haram pada hari nahr (Idul Adha) bagi yang menjalankan haji tamattu’ atau haji qiran. Selanjutnya, Aqiqah, yaitu hewan ternak yang disembelih sebagai bentuk syukur kepada Allah dan atas nikmat kelahiran anak. Lalu, penyembelihan lain untuk kebutuhan konsumsi.
Berikut ini syarat yang harus dimiliki penyembelih (menurut Kitab Bidayatul Mujtahid), yakni: Islam, laki-laki, baligh, berakal sehat, dan tidak menyia-nyiakan shalat.
Sebelum menyembelih, perhatikan hadits ini: “Apakah kamu akan membunuhnya dua kali? Tajamkanlah pisau terlebih dahulu sebelum kamu membaringkannya.” (HR. Hakim).
Bahkan Rasulullah saw memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan. (HR. Ahmad, Ibnu Majah).
Pendapat Imam Mazhab
Makna penyembelihan, seperti dipaparkan Ustaz Habibie, adalah suatu kaidah syar’i (dalam mematikan hewan) untuk menjaga kesucian hewan, agar hewan tersebut halal untuk dimakan, sekiranya ia hewan yang halal dimakan.
Menurut Mazhab Syafi’I, “Tidak sah suatu sembelihan, melainkan setelah terptong pada halkum (saluran pernafasan) dan mari’ (saluran makanan/esophagus) secara sempurna.”
Dan disunnahkan memotong dua urat darahnya yang lain (yang terdapat di sekitar leher), tetapi ini tidaklah termasuk syarat. Dan ini juga adalah pendapat yang kuat dari Imam Ahmad berdasarkan dua riwayat.
“Hal yang harus diperhatikan saat penyembelihan adalah: pertama, memotong hulqum (otot tempat keluar masuknya nafas). Kedua, memotong mar’i (otot tempat masuknya makanan dan minuman). Adapun Mar’i tempatnya di bawah hulqum.”
Dalam memotong kedua otot tersebut harus 1 kali potongan.Jika memotongnya lebih dari 1 kali dan tidak ada tanda-tanda ‘hayatul mustaqirah’, maka sembelihan tersebut hukumnya haram dimakan.
Ketiga, memotong dua otot wadajain , yaitu dua otor yang berada di samping leher. Untuk yang pertama dan kedua, hukumnya wajib, sedangkan yang nomor tiga hukumnya sunnah.
Selain Mazhab Imam Syafi’I, juga disampaikan cara penyembelihan menurut Mazhab Maliki. Dikatakan, terputusnya tenggorokan, kerongkongan dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini, maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
Dari keempat saluran itu yang tidak harus putus adalah saluran makanan (amr’i), sedangkan tiga saluran yang harus terputus adalah saluran nafas (hulqum) dan dua saluran darah (wadajain).
Kemudian, menurut Syekh Abdul Aziz bin Baz, penyembelihan yang sesuai syariat ada tiga keadaan, yakni: Pertama, terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan dua urat leher. Ini adalah keadaan yang terbaik. Jika terputus empat hal ini, maka sembelihannya halal menurut semua ulama.
Kedua, terputusnya tenggorokan, kerongkongan, dan salah satu urat leher. Sembelihannya benar, halal, dan boleh dimakan, meskipun keadaan ini derajatnya di bawah kondisi yang pertama.
Ketiga, terputusnya tenggorokan dan kerongkongan saja, tanpa dua urat leher. Status sembelihannya sah dan halal, menurut sebagian ulama, dan merupakan pendapat yang lebh kuat.
Mengenai hadits Abu Hurairah ra, “Rasulullah Saw melarang untuk memakan hasil sayatan syetan, yaitu binatang yang disembelih dengan cara memotong kulit, tetapi tidak memotong urat-urat di tenggorokan, kemudian dibiarkan sampai mati.”
Terkait hadits tersebut, HR Abu Daud, Ibn Hibbam, al-Baihaqi, al Hakim do dalam sanadnya ada Amru bis Abdullah bin al-Aswar al Yamani, berkata al-Mundziri: “Para ulama banyak yang mempermasalahkannya.” Berkata Syuaib al-Arnauth: Isnadnya lemah. Imam al hakim menshahihkam isnadnya dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi. (desastian)