(Panjimas.com) – “Akan datang suatu zaman di mana orang tak lagi peduli akan apa yang ia ambil, apakah itu halal atau haram.” (Hr. Bukhari).
Apakah zaman yang Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam maksud itu saat ini? Mungkin. Kita tahu, saat ini penyelewengan uang rakyat oleh pejabat sepertinya tak tabu lagi. Korupsi seperti wabah yang cepat menular ke sekitar. Sampai-sampai, orang yang tak berkeinginan pun tersangkut dan ikut makan uang haram. Mungkin benar kinilah saat yang Nabi maksudkan.
Menghadapi realitas ini, bagaimana sikap Mukmin? Mukmin adalah hamba yang sadar dan yakin bahwa memakan harta haram akan berakibat turunnya azab di hari akhirat, hari yang tak dapat dipungkiri walau hanya sekejap. Bila membaca hadits dan ayat, bayangan mengerikan tergambar di benak. Tapi, setelah kita keluar rumah dan menatap realitas lapangan, mungkin saja akan terbersit fikir sebaiknya aku ikut saja, ikut ombak zaman yang sedang edan. Toh, mereka yang koruptor kelas paus adalah Mukmin juga. Bahkan mereka ini sudah berumrah dan berhaji, bahkan berkali-kali. Kalau mereka saja berani memakan harta haram, mengapa kita tidak? Bukankah prestasi religi kita masih jauh di bawah mereka?
Seumur-umur, berapa infaq yang pernah kita tabung untuk akhirat? Oh, kita malu menyebutnya. Umrah dan haji juga hanya mimpi dalam lelap. Memang Ka’bah bisa kita lihat setiap hari, tapi itu bukan yang asli, hanya gambar di billboard dan spanduk biro haji-umrah di sepanjang tepian jalan. Bagaimana mau terbang ke Tanah Haram jika setiap bulan kita dipusingkan oleh cicilan kendaraan? Keshalihan horisontal maupun vertikal kita berada jauh di bawah mereka. Lalu mengapa harus sok suci, tak mau berbuat curang untuk mendapatkan uang?
Oh, tidak! Jangan ikut-ikutan! Begini logikanya… Para koruptor “shalih” itu sudah punya tabungan pahala yang sangat besar. Shadaqah mereka bertebaran di mana-mana, properti wakaf mereka ada di berbagai tempat, jemari kita tak cukup untuk menghitung jumlah keberangkatan haji dan umrahnya. Nah, itu dia legitimasi kebolehan mereka melakukan korupsi. Kalau kita? Ah, jangan berfikir tabungan pahala, semua telah hangus terbakar dosa! Setiap hari kita melakukan dosa, dosa yang dipaksakan oleh keadaan. Dalam pengurusan berbagai administrasi, keluar dari prosedur adalah hal biasa di negeri ini. Dan mau tak mau kita terlibat di dalamnya. Lalu, hanya istighfar yang jadi buntutnya.
Maka itu, biar saja para koruptor “shalih” terus beraksi. Jangan sekali-kali kita mengikuti. Malah ingatkan bila berani. Kita pun harus tahu, para koruptor “shalih” itu punya kalkulator pahala, bisa menghitung berapa besar tabungan akhiratnya. Bila sengaja melakukan dosa, itu sudah ada hitungan matematisnya. Tabungan pahala mereka masih sangat cukup untuk menebus dosanya.
Lantas jalan mana yang seyogianya kita tempuh? Jalan lurus saja, shirathal mustaqiim. Jalan para hamba yang telah mendapat nikmatNya, bukan jalan insan yang dibenci dan tersesat.
Mukmin harus berjiwa mandiri, berteguh pendirian, jadi diri sendiri. Ikut-ikutan adalah langkah rendah tetanda jiwa yang lemah. Allah subhanahu wa ta’ala telah tegas memotivasi kita agar jangan bermental rendah dan lemah.
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang beriman.” (Ali Imran: 139).
Bukanlah ekspresi mental Mukmin langkah ikut-ikutan itu. Makanya, meski di zaman ini para tokoh publiknya, bahkan tokoh agamanya, doyan makan harta haram; biarkan saja. Tetaplah kita bergeming pada konsep hidup yang telah terhunjam di lubuk hati terdalam: iman kepada Allah dan hari kemudian. Kita indahkan amar-amarNya yang mulia yang mengarahkan ke surga. Begitulah wujud syukur yang sebenar-benarnya.
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika hanya kepadaNya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172).
Dalam surah Ibrahim ayat tujuh, Allah ta’ala mengabarkan bahwa siapa bersyukur, Dia akan menambah nikmat untuknya. Wallahu a’lam. [IB]