(Panjimas.com) – Allah subhanahu wa ta’ala memberi kesempatan hidup di dunia dalam batas waktu tertentu bagi manusia. Atas umur yang dijatahkan itu, Dia memberi kebebasan kepada si hamba dalam mengisinya. Boleh untuk beramal shalih, boleh untuk bermaksiat kepadaNya.
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaannya.” (asy-Syams: 7-8).
Lantas langkah apa yang akan kita pilih? Mari masing-masing kita menanyai diri sendiri dan menjawabnya sejujur hati! Kemaksiatan itu menyenangkan, tapi Allah ta’ala mengancamkan siksa sebagai balasannya. Tapi itu nanti, kelak di kemudian hari, bisa di dunia, bisa juga di akhirat, atau di kedua-duanya; tapi sekali lagi itu nanti, bukan saat ini. Atau, malah bisa jadi Dia membatalkan ancaman itu; memaafkan, memberi ampunan; pelaku maksiat pun bebas dari siksaan.
Ya, sebagai Mukmin kita meyakini adanya kementakan-kementakan itu. Kita ingat firmanNya dalam al-Qur’an. Dia menyatakan ancaman siksa atas tindak kemaksiatan.
“Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (az-Zalzalah: 8).
Namun di sisi lain Dia juga menyediakan ampunan bagi para pelaku maksiat bila sudah menyatakan taubat, memohon ampun kepadaNya.
“Barangsiapa berbuat kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian dia memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (an-Nisa’: 110).
Bila demikian hukum (rumus)nya, bukankah lebih enaknya kita bermaksiat saja, karena maksiat itu menyenangkan?!
Begitukah mentalitas Mukmin? Oh, tidak! Sebagai Mukmin, kita sadar diri bahwa kesempatan hidup di dunia ini merupakan ruang dan waktu beribadah. Di sini kita memikul amanah besar yang tak sanggup ditanggung oleh gunung sekalipun.
“Sekiranya Kami turunkan al-Qur’an kepada sebuah gunung, niscaya kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah ….” (al-Hasyr: 21).
Sebagai Mukmin kita memikul amanah mengelola interaksi antar makhluk di alam ini demi terwujudnya kehidupan sosial ekologis yang harmonis, tercipta simbiosis mutualisme. Potret kehidupan semacam itu hanya akan terwujud bila manusia mengindahkan tatanan dan adab ketetapan Allah ta’ala.
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi ….” (al-A’raf: 96).
Sebaliknya, bila praktik kehidupan penuh kemaksiatan yang terjadi, dunia ini akan carut-marut diliputi berbagai bencana.
“Dan musibah apa pun yang menimpamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri ….” (asy-Syura: 30).
Ya, secara nalar pun dapat diterima bahwa segala kerusakan di dunia ini, baik materi maupun imateri, adalah buah ulah kelakuan manusia. Sebut saja sungai misalnya, bila manusia di sekitarnya berlaku tak beradab terhadapnya, ia hanya akan membawa bencana. Bentang alam yang sedianya jernih airnya dan banyak ikannya, menjadi keruh aneka warna akibat pembuangan limbah industri dan rumah tangga. Belum lagi sampahnya. Plastik-plastik yang dibuang sesukanya pun menjadi racun bagi spesies air, bahkan menjadi penyebab luapan air yang membanjir.
Dan bukan saja pelaku maksiat sendiri yang berpotensi menjadi korban kecarut-marutan dan bencana tersebut, orang-orang yang tak terlibat sama sekali pun ikut terkena imbasnya.
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaNya.” (al-Anfal: 25).
Dari contoh di atas pun bisa kita mafhumi bahwa yang terkena dampak kerusakan sungai bukan saja si pelaku maksiat membuang sampah dan limbah sesuka hati, tapi warga lain yang tak pernah melakukannya pun terkena imbasnya, dan tentu saja spesies air yang menjadi korban pertamanya.
Nah, bila demikian, apakah kita tetap sampai hati melakukan tindak kemaksiatan? Apakah kita tega mencelakai sesama makhkuk Allah ta’ala yang baik-baik saja perilakunya? Biadab benar?!
Memang benar pelaku kemaksiatan adalah makhluk biadab alias tak punya adab. Ia makhluk perusak peradaban dan pencipta kerusakan. Apakah kita ingin menjadi makhluk yang demikian? Tentu tidak, bukan?
Bahkan maksiat juga merupakan penyia-nyiaan umur yang nyata. Umur yang jaraknya sudah Allah tetapkan dan rahasiakan. Bila detik ini kita bermaksiat, tak ada jaminan sedetik kemudian masih ada kesempatan bertaubat dan berbuat perbaikan. Ya, karena kita tak tahu masih berapa lama jatah umur yang tersisa? Sungguh sayang bila umur kita yang mestinya disyukuri dengan beramal shalih itu sia-sia, di dunia merugikan sesama, di akhirat mendapat siksa. Na’uzubillahi min zalika. Wallahu a’lam. [IB]