(PANJIMAS.COM) – Salah satu tanda orang berakhlaq mulia adalah mau menggunakan akalnya. Mau berpikir adalah salah satu wujud sifat rajin, tidak malas. Malas adalah sifat buruk, akhlaq tercela. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mengajari umatnya lafadz doa perlindungan darinya.
“Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazani, wa a’udzubika minal ajzi wal kasali, wa a’udzubika minal jubni wal bukhli, wa a’udzubika min ghalabatiddaini wa qahrirrijaal. (Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kegundahan hati dan kesedihan. Aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, Aku berlindung kepadaMu dari sifat penakut dan kikir. Dan aku berlindung kepadaMu dari himpitan hutang dan tekanan orang lain.)” (Hr. Abu Dawud).
Lantas apa hal utama yang harus dipikirkan oleh kita kaum Mukmin? Mukmin (orang beriman) adalah orang yang yakin bahwa kehidupan ini direkacipta oleh Dzat yang ghaib, tidak tumbuh dengan sendirinya seperti anggapan kaum Atheis. Mukmin adalah orang yang yakin bahwa Dzat yang ghaib itu pula telah menurunkan wahyu sebagai tata aturan kehidupan dan sumber utama ilmu tentang segala hal. Nah, agar kehidupan berjalan dengan baik penuh keberkahan, bukan penuh bencana dan kehancuran, Mukmin hendaknya mendayagunakan akalnya untuk memikirkan, memelajari, memahami, wahyu yang telah diturunkan.
“Kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Shad: 29),
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu ….” (al-An’am: 106).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pernah meyakinkan hal ini kepada shahabatnya dengan bahasa metaforis agar lebih menyentuh hati, menggugah jiwa.
“Sesungguhnya al-Qur’an ini satu ujungnya di Tangan Allah dan ujung yang satunya di tanganmu. Sebab itu berpegangteguhlah padanya agar kamu tak akan tersesat dan tak akan rusak, selamanya.” (Hr. Thabrani).
al-Qur’an sendiri mengingatkan kita agar juga mendayagunakan akal untuk memelajari apa saja yang ada di alam semesta, karena itu semua juga ayat-ayat Allah ta’ala dalam bentuk yang berbeda.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mau mengingat Allah ketika berdiri, duduk, atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ….” (Ali Imran: 190-191).
Dengan memahami ayat-ayat Allah ta’ala secara benar –dengan metodologi dan kaidah-kaidah yang disepakati dan direkomendasikan ulama, kita akan mengerti, sadar, dan yakin, bahwa kehidupan dunia ini hanya sekadar cobaan, dan gerak langkah kita selama di dunia akan dipertanggungjawabkan di dua alam selanjutnya. Hanya orang yang memilih jalan yang diridhaiNya-lah yang akan memeroleh kebahagiaan di sana.
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa.” (al-An’am: 32).
Setelah paham dan sadar akan kenyataan demikian, normalnya orang berakal sehat akan memerhitungkan setiap gerak langkahnya, apakah itu mengarah kepada keridhaan dan pahala Allah ta’ala, atau sebaliknya, kepada azabNya.
“Wahai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap orang memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (al-Hasyr: 18).
Itulah penting dan utamanya mendayagunakan akal untuk mengeksplorasi ayat-ayat Allah ta’ala, baik yang berupa Kitab al-Qur’an maupun ciptaannya berupa alam semesta dan peristiwa-peristiwanya. Maka itu, para ulama menjadi pelaku terdepan dan penganjur terdepan dalam memraktikkannya. Pernyataan-pernyataan mereka berikut ini mengisyaratkan bahwa memelajari dan memahami ayat-ayat Allah ta’ala, menjabarkannya hingga menjadi ilmu yang sangat luas tak berbatas, adalah amal yang begitu agung nan mulia, yang benar-benar dibutuhkan dalam membangun peradaban berkemajuan yang penuh keberkahan. Itulah wujud nyata akhlaq mulia.
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah bertutur, “Jika ia membacanya (al-Qur’an) dengan berpikir hingga jika ia membaca satu ayat dibutuhkannya untuk kesembuhan hatinya, maka ia pun mengulanginya meskipun sampai seratus kali dan meskipun hingga satu malam. Sebab, membaca ayat dengan memikirkan dan memahami itu lebih baik daripada membaca hingga khatam tapi tanpa penghayatan dan pemahaman. Lebih bermanfaat bagi hati serta lebih mudah untuk menggapai keimanan dan merasakan manisnya membaca al-Qur’an.”
Hal senada diutarakan Imam Hasan al-Bashri rahimahullah dengan bahasa sangat menggelitik. “Berpikir sesaat itu lebih baik daripada shalat semalam suntuk.”
Pemikiran seseorang adalah “wajah” asli si bersangkutan. Seperti dikatakan Fudhail radhiyallahu ‘anhu, “Pemikiran adalah cermin yang menampakkan kepadamu kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukanmu.”
Aktivitas berpikir juga dibutuhkan bagi kekhusyukan shalat. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu mengingatkan, “Waktu dua rakaat yang sedang (tidak lama dan tidak cepat) yang digunakan berpikir, adalah lebih baik daripada shalat satu malam dengan hati yang lalai.”
Begitulah. Maka mari ingatkan diri kita masing-masing bahwa berpikir itu sangat penting dan malas berpikir itu merugikan. Rugi umur, rugi masa depan. Dan yang biasa membuat kerugian hanyalah orang yang buruk akhlaqnya. Wallahu a’lam. []