(Panjimas.com) – Momen Lebaran di Indonesia nyata tak bisa dipisahkan dari aktivitas maaf-memaafkan. Saling meminta dan memberi maaf seolah menjadi gerakan dan telah menjadi tradisi di negeri mayoritas Muslim ini. Memaafkan adalah akhlaq mulia. Hal ini diakui setiap orang yang sehat akalnya, baik Muslim maupun selainnya. Namun begitu, melakukan tindakan hati yang satu ini tidaklah semudah menyampaikannya secara teori. Setan yang selalu siap siaga membisik, mengatakan, “Jangan maafkan, jangan, balaslah apa yang ia lakukan!”
Sebenarnya bagaimana idealnya kaum Muslim melakukan tindak pemaafan? Apakah hal ini diposisi-pentingkan dalam Islam? Seberapa Allah ta’ala dan RasulNya shalallahu ‘alaihi wassalam menekankan? Tulisan ini akan menyuguhkan jawabannya.
Banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam yang menegaskan bahwa memaafkan adalah tindakan yang sangat diutamakan.
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang berbuat yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (al-A’raf: 199).
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-hambaNya agar menjadi pemaaf karena memaafkan adalah tindakan konstruktif nan mulia. Mulianya memaafkan tak diragukan lagi oleh kaum Mukmin karena Rabb-nya sendiri adalah Dzat Maha Pemaaf.
“Jika kamu menyatakan amal kebajikan atau menyembunyikannya, atau memaafkan kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf, Mahakuasa.” (An-Nisa’: 149).
Kekuasaan tak berbatas tidak membuat Allah ta’ala berlaku kejam tanpa ampunan. Sebaliknya, Dia Maha Memaafkan. Maka itu, sebagai hambaNya yang penuh keterbatasan dan tak luput dari kesalahan, kita diberi kebolehan melakukan balasan atas kezaliman yang menimpa diri, namun memaafkan tetaplah pilihan yang diutamakan.
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal. Tapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (terhadap orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sungguh, dia tidak menyukai orang-orang zalim.” (asy-Syura: 40).
Sikap memaafkan adalah salah satu ekspresi kesabaran seseorang.
“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” (an-Nahl: 126).
Lagi-lagi kita harus sadar bahwa manusia tak mungkin luput dari salah, dari dosa. Maka sudah seharusnya kita tahu diri, mau memaafkan kesalahan sesama di samping memohon ampun kepada Allah ta’ala.
“…. dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bila Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (an-Nuur: 22).
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menegaskan kepada umatnya bahwa memaafkan merupakan akhlaq mulia yang akan diganjar oleh Allah ta’ala berupa kemuliaan hidup dan ketinggian derajat di hadapanNya.
“Allah tidak akan menambah kemaafan seseorang melainkan dengan kemuliaan. Dan tidaklah seseorang merendahkan dirinya karena Allah melainkan Dia akan meninggikan derajatnya.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Allah subhanahu wa ta’ala pun telah berjanji secara eksplisit melalui firmannya:
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang berinfaq baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 133-134).
Maka seyogianya janji tersebut menjadi pemupuk keyakinan kita bahwa memaafkan memanglah jalan terbaik untuk melukar persoalan kehidupan, mengislah pertikaian dengan sesama hambaNya yang beriman. Mari jadikan momen Lebaran ini sebagai ruang penyadaran diri akan arti penting memaafkan dalam membangun harmonisasi kehidupan. Wallahu a’lam. [IB]