(Panjimas.com) – Dari Tsauban, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Hampir saja para umat mengerumuni kalian dari berbagai penjuru seperti menghadapi makanan dalam piring.” Seseorang bertanya, “Katakanlah wahai Rasulullah, apakah kami pada saat itu sedikit?” Rasulullah bersabda, “Kalian pada saat itu banyak, tapi kalian bagai sampah yang dibawa air hujan. Allah akan menghilangkan rasa takut pada hati musuh kalian dan akan menimpakan dalam hati kalian wahn. Seseorang bertanya, “Wahn, apa itu?” Rasulullah bersabda, “Cinta dunia dan takut mati.” (Hr. Abu Dawud dan Ahmad).
Gemerlap dunia menyilaukan mata hati banyak manusia. Tidak saja mereka yang tak percaya adanya hari pembalasan di depan sana, kaum Mukmin pun tak jauh berbeda. Coba renungkan, apakah bukan cinta dunia bila kita sudi membeli kendaraan terbaru dengan cara riba padahal kendaraan lama sejatinya masih layak guna? Jujurlah memberi jawaban, apa bukan artinya cinta dunia bila pakaian mahal tetap dibeli di kala hutang masih belum terbayar, padahal pakaian yang tertumpuk di lemari masih mencukupi? Tak usahlah kita menunjuk mereka yang kafir, pergilah ke depan cermin lalu amati diri, benarkah ia sudah menjadi Mukmin yang zuhud dunia dan siap berpisah dengannya?
Ramadhan bulan yang tepat untuk berkontemplasi, merenungi kehidupan yang tengah kita jalani. Sesekali kiranya perlu dicoba, berjalan kaki satu atau dua jam dalam kondisi perut lapar. Tafakkuri hidup, tafakkuri mati. Dalam khalwat denganNya sepenuh konsentrasi, akan kita temui siapa sejatinya diri bernama “aku” ini.
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (al-Mulk: 2).
Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan bahwa menurut as-Sudi rahimahullah, yang dimaksud orang yang paling baik amalnya dalam ayat di atas ialah ia yang paling banyak mengingat mati dan paling baik persiapannya untuk menghadapi kematian.
Haus lapar dalam Ramadhan menjadi suplemen kesadaran akan arti kehidupan, penguat ingat akan keterbatasan nikmat, akan ajal yang kian dekat. Ingat mati menyuburkan akhlaq terpuji. Di depan sesama tidak arogan, terhadap Allah ta’ala takut menentang. Hati pun lebih mudah beradaptasi: saat sempit tak merasa terhimpit, saat lapang tak terlalaikan. Karena ingat, hidup di dunia hanya sebentar, materi dan predikat duniawi akan sirna.
“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian). Karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang. Dan jika seseorang mengingatnya saat hidupnya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).” (Hr. Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Khusyuknya shalat itu nikmat yang bermanfaat. Ia bukan kenikmatan semu seperti halnya rasa nikmat saat mencecap lezat mie instan yang sering diiklankan. Ingat mati dalam shalat membantu tercapainya khusyukan. Ingat mati menyadarkan bahwa bisa jadi shalat saat ini adalah yang terakhir kali, tak ada kesempatan lagi nanti karena nafas telah berhenti.
“Ingatlah kematian dalam shalatmu, karena jika seseorang mengingat mati dalam shalatnya, maka ia akan memperbagus shalatnya. Shalatlah seperti shalat orang yang tidak menyangka bahwa ia masih punya kesempatan melakukan shalat yang lainnya …. (Hr. ad-Dailami).
Ingat mati, sadar diri bahwa entah kapan pasti diri akan mati, adalah agenda penting dan mendesak setiap saat bagi manusia yang berkualitas akalnya.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, lalu seorang Anshar mendatangi beliau, memberi salam, dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?’ Beliau bersabda, ‘Yang paling baik akhlaknya.’ Tanyanya lagi, ‘Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?” Beliau bersabda, ‘Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.'” (Hr. Ibnu Majah).
Sebaliknya, bila sepanjang usia akal hanya dikerahkan untuk memikirkan keinginan-keinginan pragmatis keduniaan, berarti si bersangkutan bukanlah orang cerdas walau berpendidikan formal tinggi, walau juara olympiade!
Orang yang sadar bahwa entah kapan dirinya pasti akan mati dan memertanggungjawabkan semua perbuatannya selagi di dunia, logisnya ia akan menempuh kehidupan yang sesuai aturan Sang Pemilik Kehidupan, Allah subhanahu wa ta’ala.
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahfi: 110).
Dengan begitu, ingat mati adalah perisai diri dari perbuatan tak berakhlaq. Dan Ramadhan adalah ruang kondusif untuk mengagendakan