(Panjimas.com) – Salah satu hikmah puasa Ramadhan adalah terbangunnya keshalihan sosial dalam jiwa kaum Muslim. Keshalihan sosial dapat tumbuh dengan cara ber-tepa salira, mencoba merasakan apa yang dirasakan orang lain. Bagi orang yang tingkat perekonomiannya mapan, berkecukupan materi, hidup di negeri aman tanpa pergolakan, tentu tak mengalami musibah kelaparan. Tapi dengan berpuasa Ramadhan, mereka dapat mencicipi secuil rasa yang dialami oleh orang lain yang mengalami musibah pangan.
Puasa Ramadhan menjadi kewajiban kaum Mukmin setiap tahunnya. Seutuh bulan mereka harus berpuasa sejak fajar hingga terbenamnya sang surya.
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.“ (al-Baqarah: 185).
Di era teknologi informasi mutakhir saat ini, situasi sosial di berbagai belahan bumi dapat dipantau setiap saat. Dalam hitungan detik, kabar terkini dari benua lain bisa diterima. Dan realitas bicara bahwa berbagai bentuk musibah terjadi silih berganti di berbagai negeri. Dengan mengetahui gambaran penderitaan yang menimpa orang lain, rasa kemanusiaan mulai bicara.
Dalam Ramadhan, kaum Mukmin tak cuma berkesempatan mengetahui kabar kondisi saudara-saudaranya yang menderita. Lebih dari itu, mereka diberi peluang merasakan secuil penderitaan mereka dengan rasa lapar dan dahaga. Cara ini membuat rasa kemanusiaan mereka lebih menyala. Dengan begitu, logisnya, keinginan-keinginan yang berlebih terhadap kenikmatan duniawi akan terkurangi. Artinya, Ramadhan menjadi benteng kaum Mukmin dari paham sesat Hedonisme.
Hedonisme adalah ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan duniawi merupakan tujuan hidup dan tujuan dari gerak langkah manusia. Singkatnya, isme ini menjadikan materi dunia sebagai tujuan hidup. Hidup adalah untuk bersenang-senang sepuasnya. Hidup untuk makan, bukan makan untuk hidup!
Ramadhan yang di dalamnya terdapat optimalisasi syiar spiritual Islam, menjadi pengingat kaum Mukmin akan hakikat eksistensi mereka di dunia.
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.” (az-Zariyat: 56-57).
Manusia dicipta hanya untuk menghamba kepada Penciptanya. Dengan menghambakan diri secara baik dan benar kepadaNya, mereka berhak memeroleh rezeki sebagai bekal menggapai bahagia dunia-akhirat.
Segala kenikmatan duniawi sejatinya sangat tak berharga dan tak menjamin kehadiran bahagia.
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka. Dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud: 15-16),
Tertarik dengan gemerlapnya dunia adalah manusiawi. Tapi orang beriman meyakini bahwa itu bersifat sangat sementara. Dan kesempatan menikmatinya pun ada batasnya.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita; anak-anak; harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran: 14).
Dan yang pasti, betapa pun gemerlapnya dunia, ia tak ada apa-apanya dibanding kenikmatan hakiki di akhirat nanti.
“…. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (at-Taubah: 38),
“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (Hr. Muslim no. 2858),
Bila begitu, jelaslah bahwa Hedonisme adalah jalan hidup orang kafir. Dan ujung jalan itu adalah kebinasaan.
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (al-A’la: 16-17),
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu, dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Yunus: 7-8).
3
Sikap hidup ideal kaum Mukmin adalah sesuai tujuan penciptaan dirinya. Eksistensi manusia di dunia ini hanyalah untuk beribadah kepada Allah ta’ala, dan itulah jalan menuju kebahagiaan hakiki, yakni bahagia di dunia sekaligus di akhirat nanti.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi ….” (al-Qashash: 77).
Islam memiliki cara tersendiri untuk menggapai kenikmatan dunia. Cara yang cerdas dan jujur, tidak konyol dan menipu seperti Hedonisme.
“Zuhudlah pada dunia, maka Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu.” (Hr. Ibnu Majah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memaknai zuhud sebagai, meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.
Ramadhan yang di dalamnya terdapat optimalisasi syiar spiritual Islam, adalah momen yang tepat untuk melatih diri bergaya hidup zuhud. Bila “Zuhud-isme” hadir, Hedonisme pasti pergi. Wallahu a’lam. [IB]