(PANJIMAS.COM) – Ramadhan bulan peluang. Peluang memborong kebaikan, keutamaan, kemuliaan. Allah subhanahu wa ta’ala menyediakan fasilitas kemudahan yang tak tanggung-tanggung, tak main-main, hanya untuk hamba-hambaNya yang beriman. Fasilitas teristimewa adalah malam yang lebih berharga daripada seribu bulan! Luar biasa…
Di ujung bulan Sya’ban Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam berkhutbah, “Hai manusia, telah menjelang kepada kalian bulan yang sangat agung, penuh berkah. Di dalamnya ada malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bulan di mana Allah telah menjadikan puasa di dalamnya sebagai ibadah wajib dan qiyamullailnya sunah. Barangsiapa yang pada bulan itu mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu kebaikan, nilainya seperti orang yang melakukan amalan wajib tujuh puluh kali pada bulan lainnya…” (Hr. Ibnu Khuzaimah).
Tentu orang-orang pilihanlah yang berhak atas semua itu. Terlebih “malam seribu bulan”, hanya segelintir manusia saja yang memiliki kelayakan meraihnya. Hanya mereka yang mengisi Ramadhan dengan mujahadah yang sesungguhnya, lahir batin.
“Siapa berpuasa Ramadhan imanan wa ihtisaban, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan siapa shalat pada Lailatul Qadar imanan wa ihtisaban, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hr. Bukhari dan Muslim),
“Barangsiapa yang menunaikan shalat malam di bulan Ramadan imanan wa ihtisaban, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Menurut Ibnu Hajar al-Ashqalani rahimahullah, yang dimaksud iman di sana adalah keyakinan akan kebenaran diwajibkannya puasa atasnya. Sedangkan ihtisab adalah meminta pahala dari Allah ta’ala.
Pengharapan akan pahala meniscayakan konskuensi logis dari si hamba. Ia harus melakukan tindakan konkret yang menjadi sebab memeroleh pahala. Hal sekecil apa pun yang kita kerjakan, Allah subhanahu wa ta’ala menyaksikan dengan sempurna. Hal ini penting untuk dijelaskan kepada kaum Muslim. Di mana masih banyak dari kita yang jangkauan berpikirnya sebatas permukaan saja. Misalnya, seseorang yang berbagi takjil Ramadhan, langsung dianggap berpahala, memeroleh pahala puasanya mereka yang mengonsumsi paket takjil tersebut. Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala Mahadetail dalam menilai amal hambaNya.
“… dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
(at-Taubah: 16).
Allah subhanahu wa ta’ala tak memandang istilah takjilnya, tapi Dia meneliti secara detail wujudnya. Memenuhi kriteria halalan thayyiban atau tidak? Orang memberi paket takjil nasi pecel lauk tempe dengan bungkus daun pisang, insya Allah pahalanya jauh lebih besar daripada takjil berupa mie instan dengan lauk ayam boiler yang dikemas dengan kotak styrofoam. Ya, karena pengaruh keduanya bagi tubuh orang yeng memakannya dan bagi kelestarian lingkungan jelas sangat berbeda.
Singkatnya, dalam beramal, seyogianya kita memerhitungkan dengan seteliti mungkin, berpikir secara mendalam, tak hanya di permukaan. Karena setiap amal perbuatan menuntut pertanggung jawaban pelakunya sedetail-detailnya.
“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasan)nya.” (al-Zalzalah: 7-8).
Makna ihtishab lebih diperjelas oleh Imam al-Khathabi rahimahullah dengan: “Ihtisab maknanya ‘azimah, yaitu ia berpuasa dengan berharap pahalanya dengan memerhatikan kebaikan bagi dirinya tanpa memberatkan pada puasanya dan tidak pula memerpanjang hari-harinya.”
Dari sini kita dapati penjelasan bahwa hal yang merupakan keniscayaan dalam ihtisab adalah memerhatikan kebaikan pada dirinya, memerhatikan setiap tindak-tanduk diri selama Ramadhan, di samping memerhitungkan secara detail dalam beramal shalih. Jika berharap pahala besar, berarti kita harus mengisi hidup dengan aktivitas yang berguna dan meninggalkan yang tak berfaedah.
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminun: 1-4).
Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, maksud orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna yaitu menjauhi hal-hal yang batil, yang pengertiannya mencakup pula hal-hal yang syirik, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama. Juga hal-hal maksiat seperti yang dikatakan oleh sebagian lainnya. Mencakup pula semua perkataan dan perbuatan yang tidak berguna seperti yang disebutkan dalam firmanNya:
“Dan apabila mereka berjumpa dengan (orang-orang) yang mengerja kan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (al-Furqan: 72).
Semua hal yang tak berfaedah, bila diperhitungkan dengan detail, pasti mengarah kepada kerugian diri, bahkan merusak kehidupan, yang berarti juga merugikan sesama makhlukNya. Memang manusia secara naluriah butuh hiburan, butuh rehat. Namun yang sering kali terjadi adalah ketidakjujuran kepada diri sendiri, yakni melampaui apa yang sebenarnya mencukupi. Waktu, harta, energi, yang dikerahkan untuk keinginan yang tak memberi manfaat, dapat disebut terbuang percuma, dan itu artinya pemborosan yang mana pelakunya disebut sebagai saudara setan.
“Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (al-Isra’: 27).
Ramadhan adalah momen penggemblengan fisik dan jiwa. Outputnya adalah peningkatan kualitas diri secara fisik dan terutama ruhiyahnya. Di balik itu, sebagaimana disebutkan di depan, Allah subhanahu wa ta’ala menyediakan fasilitas kemudahan memborong pahala. Maka hendaknya iman dan ihtisab menjadi perhatian besar kita, agar momen istimewa bernama Ramadhan tahun ini tak terlewat begitu saja. Kita dapat benar-benar memborong bekal hidup dunia-akhirat, melejitnya kualitas diri dan pahala yang berlimpah. Jangan sampai karena mujahadah yang kita upayakan jauh panggang dari api, sehingga yang didapati hanya seperti peringatan Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam berikut ini:
“Banyak orang berpuasa tapi tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali lapar. Dan banyak orang shalat malam tapi tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya kecuali begadang.” (Hr. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Wallahu a’lam. []