(PANJIMAS.COM) – Ramadhan 1438 H telah Allah ta’ala perjumpakan dengan kita. Sebagai Muslim, sudah semestinya kita menyambutnya dengan suka cita. Karena Ramadhan adalah bulan istimewa, keutamaan besar terkandung di dalamnya. Sebuah syari’at ibadah besar yang khusus ada di bulan ini adalah puasa sebulan penuh lamanya.
“…. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.“ (al-Baqarah: 185).
Puasa Ramadhan fardhu hukumnya. Tak hanya pahala, puasa sebulan penuh merupakan pendidikan karakter yang luar biasa. Kesuksesan puasa Ramadhan adalah taqwa.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang terdahulu sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa.” (al-Baqarah: 183).
Taqwa adalah kehati-hatian tingkat tinggi, ibarat berjalan tanpa alas kaki di lorong berduri. Sebuah kehati-hatian dalam melangkah, secara otomatis memunculkan akhlaq yang manis. Karena tentu si pelaku tak asal melangkah, tidak sembrono, penuh kewaspadaan dan kelemahlembutan.
Dalam al-Qur’an, Allah subhanahu wa ta’ala sering kali mendidik hamba-hambaNya dengan perumpamaan-perumpamaan di alam raya. Tak segan Dia memerintahkan manusia agar mengamati peristiwa-peristiwa alam dan binatang-binatang kecil demi memeroleh pesan-pesan kehidupan.
“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan, ‘Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?’ Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberiNya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (al-Baqarah: 26).
Dalam kaitannya dengan ibadah Ramadhan, ada satu binatang kecil yang siklus hidupnya dapat kita jadikan cermin kehidupan, bagaimana pengaruh puasa yang kita jalani terhadap akhlaq yang kita miliki? Binatang itu adalah ulat.
Mari kita bayangkan wujud ulat! Setiap jenis ulat memiliki wujud yang khas, berbeda satu dengan lainnya. Namun, nyaris semuanya memiliki sifat yang sama: menggelikan. Merinding, bergidik, bahkan banyak kaum hawa sampai menjerit dibuatnya. Tak hanya itu rapor merah ulat; untuk jenis ulat bulu, bulunya membuat gatal kulit manusia yang bersentuhan dengannya. Di dunia pertanian, pada umumnya ulat menjadi musuh petani. Ia adalah hama berbagai macam tanaman. Memangsa daun, buah, biji, bahkan batang. Begitulah niche ekologis (peran lingkungan) ulat yang sengaja dibuat demikian oleh Allah subhanahu wa ta’ala guna mendidik kita.
Tak berhenti di situ. Pada masanya, ulat akan mengalami sebuah siklus kehidupan yang unik luar biasa. Begitulah Allah subhanahu wa ta’ala merancangbangunnya demi menjadi ilmu tersendiri bagi manusia. Pada masa yang Allah tetapkan, ulat mengalami metamorfosis. Ia berdiam diri di suatu tempat yang tak selalu sama antara jenis ulat satu dengan lainnya (di antaranya di bagian bawah permukaan daun). Secara bertahap ia berubah bentuk dari yang menggelikan menjadi lebih menenteramkan. Dan pastinya, pekerjaan menghabisi tumbuh-tumbuhan berhenti sama sekali, total. Karena selama berdiam diri dengan sebutan kepompong ia tidak makan, berpuasa.
Keadaan sebagai kepompong ulat jalani selama waktu tertentu. Hingga ketika masanya tiba, terjadilah peristiwa menakjubkan pada diri si kepompong. Dari makhluk diam penuh kesahajaan yang bertahan hidup tanpa makan, ia bergerak keluar dari tempat khalwatnya dengan wujud yang sama sekali berbeda. Menjadi kupu-kupu, binatang bersayap yang dapat terbang tinggi kian-kemari. Ia juga tak lagi menjadi pemangsa tetumbuhan; membuatnya rusak, terhambat pertumbuhannya karena kehabisan daun, tak menghasilkan buah yang utuh dan layak konsumsi, bahkan membuat tumbuhan itu mati. Bukan itu pekerjaan kupu-kupu. Kini ia tak mau menikmati kelezatan materi dengan cara merugikan sesama makhluq Allah ta’ala. Sebaliknya, pekerjaannya kini adalah membantu keberlangsungan hidup tumbuh-tumbuhan. Tapi dengan begitu ia memeroleh makanan yang jauh lebih lezat dari sebelumnya.
Makanan kupu-kupu adalah pektin (sari) bunga. Bunga-bunga indahlah yang ia hampiri setiap hari. Dan bunga-bunga itu senang karena kehadiran kupu-kupu memberinya kebaikan. Dengan hinggapnya kupu-kupu di mahkota bunga, benang sari (bunga jantan) dapat melepaskan serbuk sari untuk menghampiri putik (bunga betina). Dengan begitu terjadilah pembuahan yang kemudian menghasilkan buah-buahan dan atau biji-bijian yang memberi faedah bagi berbagai komponen ekosistem. Buah dan biji dapat dikonsumsi oleh binatang dan manusia, biji lainnya yang jatuh ke tanah akan tumbuh menjadi tumbuh-tumbuhan baru. Buah dan biji yang terhanyut air dan terdampar di hilir, atau yang dibawa terbang burung dan kelelawar lalu dijatuhkan di kawasan lain akan tumbuh di sana. Terjadilah perkembangbiakan berkelanjutan, lestari dari generasi ke generasi, dari daerah satu ke daerah lain. Sungguh sebuah simbiosis mutualisme yang teramat indah. Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala mencipta alam raya beserta isinya, semua ada nilainya!
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.'” (Ali Imran: 191).
Sungguh indah bila Ramadhan tahun ini kita jadikan momen “berkepompong”. Kita upayakan kesempatan ini termanfaatkan seoptimal mungkin guna meningkatkan kualitas diri. Kita jadikan ibadah Ramadhan sebagai cara mengarifkan jiwa, sehingga terjadilah perubahan signifikan dalam diri kita. Diri yang semula seperti ulat; merusak dan merugikan pihak-pihak lain demi kepentingan pribadi, manjadi seperti kupu-kupu; kehadirannya membuat siapa yang memandang merasa senang, yang berinteraksi dengannya memeroleh keuntungan sekaligus memberikan keuntungan, bertimbal balik. Itulah “wajah” akhlaqul karimah. Dan semoga “wajah” itu akan tetap kita miliki selamanya, aamiin. Wallahu a’lam. []