PANJIMAS.COM – Entah sejak kapan, tapi pastinya, kejujuran menjadi barang sangat mahal dan langka hari ini. Tak saja para preman jalanan, orang-orang berdasi bahkan berjubah pun, merasa berat menggendong benda bernama kejujuran. Menipu, secara eksplisit maupun implisit tak mudah dihindari saat momen-momen tertentu, situasi-situasi tertentu.
Sejatinya hati tak sudi melakukannya. Namun, si bersangkutan sedang berada di dalam sebuah lingkaran. Lingkaran yang menjadi “lumbung beras” keluarganya. Bila ia bergerak berlawanan dengan arah gerak lingkaran itu, tubuhnya akan terhempas keluar dan bingung kemana mencari bulir-bulir beras untuk anak istri di kemudian hari. Akhirnya, mau tak mau ia ikut saja ke mana arah gerak sang lingkaran. Dan tragisnya, tidak jarang gerakannya membentuk irama kebohongan, kecurangan, kezaliman. Hatinya tak mau, tapi ia berada di situ, dan harus bergerak mengikuti irama, bila tak mau menerima risiko pahitnya!
Bukan rahasia lagi, negeri tempat kita tinggal berisi banyak sekali lingkaran yang acap kali bergerak dengan irama kontra kejujuran. Para pejabat di wilayah urusan keagamaan saja korup. Di lingkungan instansi pendidikan juga demikian.
Wajah dunia seperti waria berdandan menor. Orang yang tak sabar mencermatinya akan tertipu, mengira ia wanita. Padahal bila ditelanjangi, tampaklah kepalsuannya. Sihir gincu dunia harus diwaspadai oleh semua. Pengemban pesan al-Qur’an saja bisa lemas tak berdaya kala terpapar sorotnya. Silau membuat pandangannya penuh dusta.
Ini kenyataan. Maka itu umat Islam harus senantiasa saling mengingatkan. Mengingatkan bahwa kejujuran wajib ada dalam kehidupan, bila tak mau terjadi kehancuran. Semoga tulisan singkat ini menjadi pengingat akan pentingnya kejujuran dalam kehidupan.
Secara etimologi, jujur adalah lawan kata dusta. Bahasa Arab menyebutnya ash-shidqu, dan pelakunya disebut ash-shiddiq. Ash-shiddiq adalah orang yang selalu bersikap jujur, baik dalam lisan, tulisan, maupun tindakan.
“… Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (an-Nisa’:69).
Maksud “para pecinta kebenaran” dalam ayat ini adalah mereka yang gemar bersikap jujur, mengakui kebenaran, atau orang yang melaksanakan apa yang ia katakan. Ada juga yang menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah pengikut terbaik para nabi yang dengan cepat mengimani kenabian, seperti shahabat Abu Bakar radhiyallahu yang karena itu digelari ash-Shiddiq (Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu anhu).
Secara terminologi, ulama memaknai ash-shidqu (jujur) dengan,
“Jujur adalah kata hati yang sesuai dengan yang diungkapkan. Jika salah satu syarat itu ada yang hilang, belum mutlak disebut jujur.” (Imam Raghib al-Isfahani).
“Jujur adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan, dengan kata lain, lawan dari bohong.” (al-Jurjani).
“Jujur merupakan asas segala sesuatu, sedangkan ikhlas itu tidak dapat terwujud kecuali setelah masuk dalam amal. Amal terebut pun tidak akan diterima kecuali jika disertai jujur dan ikhlas.” (Imam Junaid).
“Kejujuran adalah kemurnian hati Anda, keyakinan Anda yang mantap, dan ketulusan amal Anda.” (Imam Qusyairi).
Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan Nabi Ibrahim alaihissalam sebagai teladan kejujuran. Saat itu beliau berdoa,
“Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian.” (asy-Syu’ara: 84).
Di ayat lain Allah subhanahu wata’ala berseru agar kita bersama dengan mereka,
“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kalian beserta orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda,
“Kalian harus jujur karena sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu menunjukkan kepada jannah. Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur sehingga ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhilah oleh kalian dusta karena sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada keburukan, dan keburukan itu menunjukkan kepada neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan berusaha untuk berdusta sehingga ditulis di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. Muslim no. 6586).
Hadits ini memuat makna bahwa praktik jujur yang dilakukan terus-menerus akan membentuk sifat jujur. Begitu pula sebaliknya. Ia juga menunjukkan pentingnya kejujuran dalam membangun kehidupan. Karena kejujuran adalah keniscayaan dalam mewujudkan kehidupan yang baik, maka pelakunya akan dibalasi dengan jannah. Dan begitu pula sebaliknya, perilaku kontra kejujuran menyebabkan hancurnya kehidupan dan pelakunya diancam azab neraka.
Oleh karena itu tidak berlebihan bila Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah berpendapat bahwa jujur adalah sifat yang membuat seseorang menjadi terhormat. Selanjutnya ia katakan bahwa kejujuran menjadi pembeda antara orang munafik dan Mukmin.
Dusta sebagai lawan jujur merupakan perusak kehidupan. Terlebih bila yang didustakan adalah agama. Menolak ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala dan me-reka jalan yang berbeda. Tindakan demikian merupakan kezaliman tingkat akut, karena dapat merusak cara berpikir orang yang mengikutinya, yang bila cara berpikir salah arahnya, akan mencipta kehancuran dalam kehidupan.
“Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?” (QS. az-Zumar: 32),
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga dan menguatkan hati kita, sehingga tetap teguh kukuh dalam kebenaran. Semoga kuatnya iman, kesabaran, dan tawakal kita akan menghindarkan kita dari tujuan-tujuan pragmatis dalam kehidupan, yang muncul sebagai dampak merebaknya wabah hedonisme. Jika kita selamat dari rasa tamak terhadap dunia dan yakin akan janji Allah subhanahu wa ta’ala yang sudah menjamin rejeki setiap hambaNya, insya Allah akan selamat dari jebakan lingkaran setan yang tersebar ke seluruh pelosok negeri. Wallahu a’lam. [IB]