PANJIMAS.COM – Jika mau merenung, lalu jujur mengakui, sebenarnya ada yang ganjil pada diri kebanyakan manusia, mungkin termasuk kita. Dalam berbagai kesempatan, rasa takut yang mendominasi jiwa tertuju kepada manusia atau makhluk lainnya, bukan kepada Sang Khaliq, Allah Ta’ala.
Sebagai pegawai misalnya, ketika terlambat tiba di kantor, banyak yang membohongi atasan dengan alasan-alasan rekayasa yang sekiranya dapat diterima, dimaafkan. Hal ini jelas merupakan sikap jiwa yang lebih takut kepada manusia (atasan) daripada kepada Allah Ta’ala. Demi tidak dimarahi atau dikenai sanksi oleh atasan, ia rela melakukan perbuatan dosa.
Sebagai Mukmin, perilaku semisal di atas jelas tidak selayaknya dilakukan. Salah satu ciri Mukmin ialah meyakini adanya yang ghaib, meyakini bahwa berbohong adalah dosa dan dosa akan berbalas siksa. Mengapa ia lebih takut terhadap hukuman dari manusia daripada dari Allah? Ini keganjilan yang nyata.
Secara eksplisit sebenarnya Allah sudah memerintah kita agar tidak takut kepada makhluk, dan hanya takut kepada Khaliqnya.
“… Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepadaKu.” (al-Maidah: 44).
Rasa takut kepada Allah merupakan sebentuk ibadah hati. Ia adalah sifat para malaikat. Sebagaimana difirmankan Allah.
“Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas mereka, dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (an-Nahl: 50).
Juga sifat para Nabi, seperti disebut dalam surah al-Anbiya,
“Sesungguhnya mereka orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik, dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan takut. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (al-Anbiya’: 90).
Jika para malaikat dan Nabi memiliki sifat takut kepada Allah, idealnya manusia yang bertaqwa juga memilikinya. Sebagai Muslim, kita harus mendidik diri agar memiliki sifat takut kepada Allah.
Sebagai terapi diri pertama kali agar sifat mulia ini tumbuh di hati sanubari, adalah dengan cara mengenal Allah, mengenal sifat-sifatNya. Untuk itu kita harus menempuh jalan ilmu, memelajari ayat-ayatNya. Karena jelas, Allah Ta’ala menegaskan bahwa hambaNya yang takut kepadaNya hanyalah ulama.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ulama.” (Fathir: 28).
Nabi Muhammad saw memerjelas dengan sabda beliau,
“Sesungguhnya akulah yang paling mengenal Allah, dan akulah yang paling takut kepadaNya.” (Hr. Bukhari dan Muslim).
Manusia yang mengenal Allah swt secara mengakar hidup di hati, pasti ia akan takut kepadaNya. Dan rasa takutnya tak terhalang oleh rasa takut kepada makhlukNya. Hal ini disebabkan ia yakin benar akan ke-Maha Kuasa-an Allah.
“Kepunyaan Allah apa yang di langit dan di bumi. Dan sungguh Kami telah memerintahkan kepada orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu; bertaqwalah kepada Allah. Tetapi jika kamu kafir, maka (ketahuilah), sesungguhnya apa yang di langit dan apa yang di bumi hanyalah kepunyaan Allah, dan Allah Maha kaya, Maha Terpuji.” (an-Nisa: 131).
“Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya selain Dia sendiri.” (al-An’am: 17).
Menghayati ayat-ayat di atas, manusia yang mengenal Allah secara mengakar hidup di hatinya, akan tumbuh rasa takutnya kepadaNya. Seperti Umar bin Khaththab misalnya. Ia berkata,
“Andai terdengar suara dari langit yang berkata, ‘Wahai manusia, kalian semua sudah dijamin pasti masuk surga, kecuali seorang saja,’ sungguh, aku khawatir ia adalah aku.” (Hr. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah, 138).
Dan Abu Hurairah, “Aku tidak menangis karena urusan dunia kalian. Aku menangis karena telah jauh perjalananku, namun betapa sedikitnya bekalku. Sungguh, kelak aku akan berakhir di surga atau neraka, dan aku tak tahu mana yang akan diberikan kepadaku dari keduanya.” (Hr. Nu’aim bin Hammad dalam az-Zuhd, 159).
Mereka adalah manusia-manusia mulia. Mereka mengenal Allah secara mengakar hidup di hati. Walau kualitas ibadahnya, amal shalihnya, kontribusinya untuk menegakkan kebenaran (Islam) amat jauh di atas kita, mereka tidak sok suci, merasa aman dari ancaman azab Allah swt. Merekalah hamba-hamba Allah swt yang beruntung.
“Apakah kalian merasa aman dari makar Allah? Tidaklah ada orang yang merasa aman dari makar Allah kecuali orang-orang yang rugi.” (al-A’raf: 99).
Ibnu Mas’ud ra memerjelas mengapa manusia-manusia mulia seperti mereka amat besar rasa takutnya. Adalah soal cara pandang. Ia menggambarkan perbedaan cara pandang manusia beriman dengan manusia fajir terhadap dosa yang dimiliki.
“Seorang yang beriman melihat dosa-dosanya bagai sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh. Ia khawatir akan tertimpa. Sedang orang fajir (ahli maksiat) melihat dosa-dosanya bagai lalat yang melewati hidungnya.” (Hr. Bukhari, 6308).
Namun begitu, bukan berarti manusia beriman setiap waktu harus dirundung rasa khawatir akan masuk neraka. Karena Allah swt adalah ar-Rahman (Maha Pemberi Rahmat), ar-Rahim (Maha Penyayang), al-Ghafur (Maha Pengampun. Maka hendaknya di samping rasa takut (khauf), Mukmin harus memiliki rasa harap (raja’) penuh optimisme. Sebanyak dan sebesar apa pun dosa kita miliki, putus asa bukanlah sikap yang pantas jadi pilihan. Seperti nasihat Nabi Yusuf As kepada putra-putra beliau.
“Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah kecuali kaum yang kafir.” (Yusuf: 87).
Hasan al-Bashri berkata, “Raja’ dan khauf adalah kendaraan seorang mukmin.” Dan al-Ghazali ra berucap, “Raja’ dan khauf adalah dua sayap yang dipakai para muqqarabin guna menempati kedudukan terpuji.”
Demikian, maka mari mendidik diri untuk menghidupkan rasa takut kepada Allah secara benar dan proporsional. Jangan sok suci, tapi juga jangan putus harapan karena banyak berdosa. Mari katakan kepada diri sendiri, “Takutlah kepada Allah!” Wallahu a’lam. [IB]