PANJIMAS.COM – Alhamdulillah, lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, di negeri kita Indonesia, dari kota hingga ke pelosok-pelosoknya, kita saksikan bertebarnya wanita yang keluar rumah mengenakan penutup kepala. Di masa sebelumnya, mode pakaian wanita a la Islam belum membumi di bumi pertiwi. Ini tanda bahwa rasa malu menampakkan aurat di muka umum mulai tumbuh dan semakin bertambah. Tentu kenyataan ini mesti kita syukuri.
Namun di sisi lain, rasa malu dalam hal yang berbeda terasa tidak tumbuh dengan baik, bahkan menjadi layu, mengering kerdil. Rasa malu untuk mengambil hak orang lain, rasa malu melakukan langkah curang dalam meraih kekuasaan, juga rasa malu untuk mengulang-ulang kesalahan yang sudah diketahui banyak orang. Ada lagi orang-orang yang jelas-jelas telah melakukan kebodohan dan kesalahan, namun tak juga mau mengakuinya, dan tanpa malu terus berusaha menutup-nutupinya dengan memutarbalikkan fakta, menyalahkan orang lain, dan mengalihan opini di media, bahkan terus mencari pendukung dan pembela.
Menyaksikan kenyataan ini, sebagai Muslim seyogianya kita berbuat sesuatu. Mengingatkan saudara, atau minimal menjaga diri sendiri agar tak kehilangan rasa malu. Sebagai Muslim, seyogianya kita memahami bagaimana Islam menilai rasa malu dalam diri manusia.
Hadits-hadits Nabi Muhammad saw menyatakan bahwa rasa malu merupakan akhlak terpuji, suatu keutamaan dari manusia beriman.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“Rasa malu tidak datang kecuali bersama kebaikan…” (Hr. Bukhari),
“Rasa malu adalah kebaikan seluruhnya…” (Hr. Muslim).
Islam sendiri memaknai malu sebagai berikut. Secara bahasa, malu (al-haya’) bermakna at-taubah wal himsyah (tobat dan sopan santun). Ibnu Rajab dalam Fathul Bari, memaknai malu dengan, sifat yang dikaruniakan oleh Allah Ta’ala kepada hambaNya, yang mendorongnya untuk menjauhi keburukan dan hal yang hina, serta memilih berbuat kebajikan. (Fathul Bari: 1/102).
Rasa malu yang senantiasa mendorong si bersangkutan berbuat kebajikan dan menjauhi ketercelaan dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sebagai cabang dari keimanan.
Sabda beliau,
“… Dan malu adalah salah satu cabang iman.” (Hr. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad no. 598, dan Muslim no. 35)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga menyampaikan bahwa Allah mencintai orang yang memiliki rasa malu.
“Sesungguhnya Allah swt Maha Pemalu dan Maha Menutupi. Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Bila salah seorang dari kalian mandi, hendaklah menutup diri.” (Hr. Abu Dawud no. 4012, Nasa’i no. 1/200, Ahmad no. 4/224).
Bahkan malu merupakan sifat yang dimiliki oleh malaikat. Begini sabda Nabi Muhammad yang menggelitik nurani umatnya:
“Apakah aku tak pantas merasa malu kepada seseorang, padahal malaikat saja merasa malu kepada orang itu. (Hr. Muslim no. 2401).
Sebuah masalah yang mesti dicarikan solusi bila ada Muslim tapi tak punya malu. Karena seperti sabda beliau lagi, malu merupakan akhlaq Islam.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlaq, dan akhlaq Islam adalah malu.” (Hr. Ibnu Majah no. 4181)
Dan betapa bergunanya rasa malu dalam membangun peradaban yang mulia nan berkeadilan, disampaikan oleh Nabi Muhammad ketika suatu hari seorang shahabat mengatakan kepada seseorang bahwa malu telah merugikan dirinya sendiri. Mendengarnya, beliau meluruskan dengan bersabda,
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman!” (Hr. Bukhari no. 24, 6118, Muslim no. 36).
Mengomentari hadits ini, Abu Ubaid al-Harawi berkata, “Maknanya adalah bahwa orang itu berhenti dari berbuat maksiat karena rasa malunya. Sehingga rasa itu seperti iman yang mencegahnya dari perbuatan maksiat.” (Fathul Bari: 10/522).
Begitulah Islam, agama yang sempurna ini, memaknai rasa malu. Ia begitu penting adanya dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiadaannya menimbulkan kacaunya dunia. Seperti kita rasakan saat ini di negeri ini. Karena orang-orang yang berkedudukan, yang punya pangkat dan jabatan, kehilangan rasa malu, ketenteraman menjadi hal yang mahal. Maka mari kita menjaga diri, menjaga malu agar jangan sampai hilang dari qalbu! Wallahu a’lam. [IB]