(Panjimas.com) – “Sana, cuci dulu sepatumu…”
“Besok ajalah, agak mendung, nih.”
Menunda pekerjaan terasa enak memang. Wajar bila banyak dari kita melakukan. Namun, kalau mau jujur pada diri sendiri, rasa enak itu sejatinya pun dipaksakan. Kegalauan kita rasakan di hati yang dalam, tetap terasa, walau kita berupaya menyembunyikannya.
Kita pun memaklumi, walau mungkin malu mengakui. Menunda pekerjaan merupakan “produk” kemalasan. Rasa malas, ingin santai, menjadikan logika berpikir kita “kurang waras”. Walau sadar, di depan sana ada beban tertumpuk, kita tetap memilih santai dulu, susah payah urusan belakang. Yang penting sekarang, nanti tak usah dipikirkan…
Akhirnya, beban tugas menumpuk di esok hari dan kita merasa jengah, sudah lelah sebelum menyentuhnya. Dan… menunda lagi, menumpuknya kembali untuk nanti dan nanti.
Ini perkara sepele, tak tampak sebagai sebuah kesalahan fatal, seolah hal biasa, bukan kezaliman, tak berbuah dosa, tak mengerdilkan diri dan peradaban. Alhasil, kita orang-orang beriman pun banyak yang melupakan, mengesampingkan perkara menunda pekerjaan.
Barulah, setelah terjadi musibah yang menimpa, terjadi kezaliman oleh pihak lain terhadap pihak kita, sibuklah diri mencari kesalahan orang, menuntut ini dan itu. Membela diri dengan alasan-alasan yang seolah masuk di akal. Padahal, kita tak acuh di awal-awal, ceroboh tak menjaga banyak hal; memelihara sifat, sikap, perilaku, yang membawa sial: menunda pekerjaan.
Menunda pekerjaan bukan sunah dalam Islam. Itu sunah setan. Nabi saw mengajarkan kita untuk memohon perlindungan kepada Allah swt dari mentalitas kemalasan.
”Allahumma inni a’udzubika minal hammi wal hazani, wa a’udzubika minal ajzi wal kasali, wa a’udzubika minal jubni wal bukhli, wa a’udzubika min ghalabatid daini wa qahrir rijaal.” (”Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari kegundahan hati dan kesedihan, aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan KEMALASAN, aku berlindung kepadaMu dari sifat penakut dan kikir, dan aku berlindung kepadaMu dari himpitan hutang dan tekanan orang lain.”).
Masa depan adalah misteri, ghaib, hanya Allah swt saja yang tahu persisnya. Waktu tak dapat ditabung, usia adalah tanggung jawab moral kehidupan manusia. Syukur ialah menggunakan nikmat Allah swt untuk berbuat kebajikan, memerjuangkan kebenaran, sebagai wujud ibadah kepada Allah swt. Oleh karenanya, Nabi saw pun menasihati umatnya agar berlepas diri dari perilaku menunda.
Dari Ibnu ‘Abbas ra, Rasulullah saw bersabda,
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara. Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, saat luangmu sebelum datang saat sempitmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(Hr. Hakim dalam al-Mustadrak, shahih menurut al-Albani, dalam al-Jami’ ash-Shaghir)
Hadits inilah yang akan kita renungi dalam tulisan ini.
Pertama, muda sebelum tua.
Khusus Anda yang muda, coba kita tatap orang tua renta. Lalu tanyai diri, apa yang terbersit di dalam benak. Bandingkanlah dengan Anda sendiri. Bagaimanakah? Lihatlah dari berbagai segi. Kesehatan, kekuatan fisik, kecepatan gerak, penguasaan ilmu-ilmu mutakhir… Muda ada tugas yang mesti diemban. Tua pun ada, tersendiri, berbeda. Semua ada masa-masanya. Sekarang untuk apa, usia sekian untuk apa, dan seterusnya.
Mari renungi sejenak firman Allah swt berikut,
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendakiNya, dan Dialah Yang Mahatahu Mahakuasa.” (ar-Ruum: 54).
Kedua, sehat sebelum sakit. Kesehatan adalah anugerah indah nan sangat berharga. Cobalah kalau kita tengok rumah sakit. Di sana, para pasien harus merelakan usia hanya untuk terbaring lemah tak berdaya, sementara keluarganya harus membantu keperluan-keperluan pribadinya. Makan, minum, duduk, bahkan buang air kecil dan besar.
Rutinitas harian mereka harus ditinggal, padahal sebagiannya sangat diperlukan oleh keluarga, bahkan masyarakat luas.
Nabi saw bersabda,
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Azza wa Jalla daripada yang lemah. Dan pada keduanya ada kebaikan….” (Hr. Muslim).
Ketiga, kaya sebelum miskin/faqir. Zakat itu wajib dan shadaqah itu sunah. Teori ini sudah dipahami oleh kita, Muslim. Terlebih para hartawan, orang-orang kaya. Ilmu tentang keutamaan berbagi rejeki dengan mudah mereka dapati. Perangkat komunikasi mereka canggih, karena uang melimpah, mudah membelinya, mudah membeli lagi setiap kali dirilis tipe terbaru. Namun sayang, ada di antaranya yang sibuk memandang ke atas. Di atas sana, orang-orang lebih kaya enggan membayar zakat, shadaqah sekadar saja. Lalu, terbersitlah fikiran, “Ah, dia aja belum berzakat, shadaqah juga cuma segitu. Aku kan tidak sekaya dia, jadi, nanti-nanti ajalah.”
Roda kehidupan terus berputar. Masa depan itu rahasia Allah swt. Inginnya, dan perasaannya, kita optimis akan bertambah-tambah kaya. Namun, sejarah membuktikan tak selamanya demikian. Banyak milyarder yang jatuh miskin dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Maka, jangan bilang nanti atau besok saja. Karena masa kaya, tak melulu akan diikuti dengan masa lebih kaya. Bisa jadi sebaliknya. Lakukan sekarang, maka Allah swt akan mengganti berlipat ganda!
FirmanNya,
“Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai. Pada setiap tangkai terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Mahatahu.” (al-Baqarah: 261).
Keempat, waktu luang sebelum sempit. Malas, ingin menghibur dan menghibur diri, mengumbar syahwat hedonisme, itulah sebab orang tak memakai waktu luangnya untuk kegiatan produktif, untuk berbuat kebajikan, meningkatkan kualitas diri.
Sabda Nabi saw,
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat.” (Hr. Tirmidzi)
Kelima, hidup sebelum mati. Eksistensi kita sebagai manusia di alam fana ini adalah kesempatan yang tiada duanya. Kesempatan berada di sini tidak akan datang lagi untuk kedua kali. Untuk itu, kehidupan individu harus dijalani demi kemaslahatan hidup bersama. Sementara usia adalah rahasia Allah swt.
Sebuah syair berkata,
sedetik tadi adalah masa lalu
biarlah itu berlalu
detik ini adalah lembaran baru
indahnya jika diisi dengan yang lebih baik lagi
sedang sedetik nanti adalah tanda tanya
tak tahu, masihkah ada nafas buat kita?
Sekali lagi, jangan besok! Wallahu a’lam. [IB]