(Panjimas.com) – Hamka mengisahkan dalam Tasawuf Modern, bahwa di Barat ada seorang sangat kaya raya bernama Rockefeller. Sebelum menjadi kaya, ia merindukan kebahagiaan yang dikiranya akan dapat diperoleh dengan kekayaan. Setelah harta benda yang berlimpah sudah berada dalam genggaman, dalam umur 97 tahun (1937), ia merasa semua itu tak punya arti. Menjelang ajal, ia merasa bahwa bahagia adalah ketika umurnya digenapkan 100 tahun. Namun takdir bicara lain. Di tahun itu juga ia meninggal dunia. Tak mampu ia membeli waktu tiga tahun dengan seluruh kekayaannya!
Sementara, di belahan bumi lain, di Surakarta, ada seorang nenek bernama Mbah Suro yang hidup mencapai umur 150 tahun, sedang ia sangat miskin. Acap kali ia merasakan kebosanan hidup oleh karena ketiadaan harta benda. Bila saja nasib dan umur bisa diatur sekehandak manusia, apa salahnya bila ia memberikan tiga tahun saja jatah hidupnya untuk Rockefeller. Jika memang bisa, agaknya si kaya raya bersedia menggantinya dengan separuh kekayaan yang ia miliki.
”Allah-lah yang telah menciptakan kamu, kemudian ia mewafatkan kamu. Di antara kamu ada yang di panjangkan umurnya sampai tua renta, sehingga menjadi tak tahu apa-apa sesudah dia mengetahui segala-galanya. Sesungguhnya Allah Mahatahu, Mahakuasa.” (an-Nahl: 70)
Umur setua mereka terbilang langka di zaman kita. Namun Rockefeller masih saja merasakan kekurangan, ingin minta tambahan.
“Umur umatku berkisar antara 60 sampai 70 tahun. Amat sedikit dari mereka yang lebih dari itu.” (Hr. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim. Dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Silsilah al-Shahihah, no. 757).
Selesainya hidup di dunia, akan ada kehidupan berikutnya. Di sanalah semua kelakuan semasa di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya. Namun ada saja manusia yang tak percaya.
”Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi suatu ajal yang ada pada sisi-Nya (yang Dia sendirilah mengetahuinya), kemudian kamu masih ragu-ragu (tentang berbangkit itu).” (al-An’am: 2).
Hanya penyesalan hadiah terbaik mereka. Tiada kesempatan sezarah pun untuk mengulang. Tiada lorong untuk merangkak pergi.
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, ‘Ya Tuhan kami keluarkan kami, niscaya kami akan mengerjakan amal shalih, berbeda dengan yang telah kami kerjakan.’ Dan apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan datang kepada kalian pemberi peringatan? Maka rasakanlah, dan tidak ada bagi orang-orang yang zhalim seorang penolong pun.” (al-Fathir: 37)
Pembahasan umur tak bisa dipisahkan dengan masalah waktu. Allah swt berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati dalam mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al ‘Ashr: 1-3)
Tiada lain, umur ada hanya untuk iman dan kebajikan. al-Ghazali mengajak kita merenung,
“Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur. Apabila ia habis, maka habislah modalku, sehingga putuslah harapan untuk berniaga dan mencari keuntungan lagi. Allah telah memberiku tempo pada hari yang baru ini, memerpanjang usiaku dan memberi kenikmatan.” Dan mengajak kita agar setiap hari meluangkan waktu barang sesaat guna menetapkan syarat-syarat terhadap jiwa (musyarathah).
Syaikh Abdul Wahhab bin Ahmad asy-Sya’rani, Seorang sufi besar, dalam Bahrul Maurud, menulis, “Telah diambil perjanjian dari kita, apabila umur telah mencapai 40 tahun, hendaklah bersiap-siap melipat kasur dan selalu ingat pada setiap tarik nafas, bahwa kita sedang berjalan menuju akhirat, sampai tak merasa tenang lagi rasanya hidup di dunia ini.” Melipat kasur ia maksudkan dengan mengurangi tidur untuk menambah ibadah.
‘Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari ayahnya, Abu Bakrah, mengatakan, ada orang bertanya kepada Rasulullah saw,
“Wahai Rasulullah, manusia mana yang dikatakan baik?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun baik amalnya.” “Lalu manusia mana yang dikatakan jelek?” Beliau menjawab, “Yang panjang umurnya namun jelek amalnya.” (Hr. Tirmidzi no. 2330, shahih menurut al-Albani).
Panjang pendeknya umur bukanlah urusan kita. Manusia hanya menjalani kehendakNya saja. Jadi, yang perlu kita fikirkan ialah bagaimana umur bisa barakah. Rasulullah saw memberi jawabannya,
“Siapa yang suka diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung silaturahim.” (Hr. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama menafsiri panjang umur di sini adalah barakahnya umur.
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah dibanding shalatnya di rumah atau di pasarnya lebih utama (dilipat gandakan) pahalanya dengan dua puluh lima kali lipat…” (Hr. Bukhari dan Muslim).
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 261)
Itulah cara-cara menjadikan umur berbarakah.
Sebagai penutup, mari kita renungi hadist ini. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah saw bersabda,
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara. Masa mudamu sebelum datang masa tuamu, waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, saat luangmu sebelum datang saat sibukmu, masa hidupmu sebelum datang kematianmu.”
(Hr. Hakim dalam al-Mustadrak, shahih menurut al-Albani, dalam al-Jami’ ash-Shaghir). Wallahu a’lam. [IB]