Oleh: Aries Adinata, Pengurus FLP Pusat
(Panjimas.com) – Setiap singgah di bulan Desember, acapkali wacana toleransi menjadi mengkristal, bahkan cenderung tajam. Kejadian ini terus berulang tiap tahun, wacana toleransi terus diproduksi oleh entitas “sebelah” ataupun dari entitas muslim yang “terbelah” agar toleransi versi mereka menjadi dominan dan hegemonik terhadap wacana yang lain.
Kata filosuf Michel Foucault, ada relasi pengetahuan dan kekuasaan. Dimana pengetahuan itu dibangun, disana terdapat operasi kekuasaan. Wacana yang berkelindan di bulan Desember adalah tentang boleh dan tidaknya mengucapkan selamat natal (bagi muslim) itu dibangun di atas narasi toleransi.
Bagi entitas “sebelah”, mengucapkan selamat natal adalah bentuk toleransi, pengetahuan inilah yang mereka produksi agar wacana mereka berterima dan berkuasa atas wacana tandingan mereka, sehingga mereka bisa mengatakan yang tidak mengucapkan selamat natal adalah intoleran. Sedangkan bagi entitas muslim, pengucapan selamat natal tidak diperbolehkan oleh agama mereka. Wacana mereka inilah yang sering dianggap tidak toleran oleh pihak “sebelah” ataupun entitas muslim yang “terbelah”
Membongkar Konsep Toleransi
Akar dari berkelindannya dua wacana yang saling beradu di atas adalah konsep tentang toleransi.
Toleransi yang selama ini dibangun dan disusun di atas konsep tunggal. Toleransi yang datang dari satu pihak saja. Seharusnya toleransi dibaca dan dipandang dari dua kontestasi wacana yang saling bertanding tersebut.
Bagi entitas “sebelah”, pengucapan selamat natal adalah sesuatu yang verbal saja dan merupakan bentuk toleransi terhadap umat yang lainnya. Bentuk toleransi tidak adil jika diambil dari satu wacana saja.
Kita juga harus mengambil dan memahami konsep toleransi dari muslim. Bagi muslim, mereka mempunyai dimensi yang lain, yakni dimensi aqidah. Bagi muslim, pengucapan selamat natal tidak saja pada wilayah verbal semata, tetapi ia masuk pada dimensi aqidah, yang bisa berakibat rusaknya aqidah mereka.
Seharusnya, entitas “sebelah” harus memahami dan bertoleransi dengan dimensi ini. Bukannya memaksa untuk mengikuti konsep toleransi mereka. Toleransi adalah sikap menghormati dan tidak masuk pada wilayah keyakinan yang lainnya. Ada garis yang harus dijaga, jika salah satu melanggar garis, tentu akan menimbulkan kegaduhan. Semua entitas harusnya memahami dan menjaga diri agar tidak menerabas garis keyakinan masing-masing.
Toleransi milik “sebelah” tidak harus sama dengan milik muslim, begitu pula sebaliknya.
Konsep toleransi Muslim bisa dirujuk dari surat terakhir Al Kafirun “Bagimu agamamu, bagiku agamaku”. Yakni dengan saling menghormati keyakinan masing-masing, tanpa masuk pada wilayah masing-masing. Jika MUI berfatwa, baiknya entitas “sebelah” tidak masuk dan mencampuri pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh MUI, karena fatwa MUI ditujukan untuk umat muslim dan bukan untuk dibenturkan. Juga sebaliknya, umat muslim juga tidak boleh masuk dan mencampuri pandangan keagamaan yang dikeluarkan oleh otoritas “sebelah”.
Toleransi sesungguhnya adalah saling menghormati konsep toleransi itu sendiri. Biarkan muslim dengan konsep toleransinya, sedangkan “sebelah” juga dengan konsep toleransinya tanpa harus harus dibenturkan. Toleransi bukan berarti meleburkan semua pemahaman. Toleransi itu menghormati prinsip perbedaan dan menjaga perbedaan itu untuk tidak saling ditabrakan.
Kontestasi Wacana
Kontestasi wacana di atas tentu akan memberi dampak terhadap cara pandang masyarakat. Apalagi ketika para pengusung wacana “sebelah” disokong oleh media mainstraim. Masyarakat digiring secara sadar atau tidak sadar, menerima begitu saja konsep wacana “sebelah” tersebut tanpa ada perlawanan. Sehingga mereka bisa memberi stempel sang liyan/the others, bagi seorang muslim yang tidak mengucapkan selamat natal. Bahkan, jika kuasa atas wacana itu terus diproduksi dan berterima, mereka bisa mendisiplinkan sang liyan/the other. Inilah kekuatan relasi pengetahuan. Karena ada relasi pengetahuan dan kekuasan.
Dimana pengetahuan itu dibangun, disana kekuasan sedang dibangun pula. Kekuasaan yang bukan diartikan atas penguasan otoritas/tempat ansich. Tetapi kekuasan yang bisa memarjinalkan, mendisiplinkan, pemisahan, pelarangan lewat pengetahuan.
Wacana tandingan terkait hal tersebut (tidak boleh mengucapkan natal) harus diproduksi dan didistribusikan dengan baik agar bisa berterima di masyarakat.
Tetapi kesadaran (konsep toleransi versi muslim) terkait hal itu lemah karena gempuran dan kuasa media mainstraim yang dimiliki oleh wacana “sebelah”. Jika ini terus saja terjadi, bisa jadi MUI bakal dianggap sang liyan/the others yang harus didisiplinkan karena mengeluarkan fatwa “umat muslim tidak boleh mengucapkan selamat natal”.