(Panjimas.com) – Dunia adalah ladang cobaan. Di sini, manusia, siapa pun ia, pasti dihadapkan kepadanya. Baik cobaan itu berupa hal yang menyenangkan, maupun yang menyiksa perasaan. Cobaan, Allah berikan kepada hambaNya sebagai pembuktian benar tidaknya pengakuan iman.
“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka belum diuji?” (al-Ankabut: 2-3).
Bukti tingkat keimanan manusia tercermin pada perbuatan, sikap, perilaku dalam kehidupan. Maka, pemberian cobaan menjadi cara Allah swt menampakkan ‘keaslian’ hambaNya dengan tanda respon yang diambil dalam menghadapi cobaan tersebut.
“Dan sungguh Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi itu sebagai perhiasan, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amal perbuatannya.” (al-Kahfi: 7-8).
Cobaan dari Allah swt dapat berupa hal yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Sebagai contoh, seseorang dimudahkan dalam memeroleh harta, akan tampak seberapa tingkat imannya dari perilakunya berkait harta tersebut. Apakah dihamburkan untuk bermegah-megahan, atau sebaliknya, dinafkahkan demi kesejahteraan keluarga dan sesama. Seseorang dihadapkan dengan musibah sakit, tingkat imannya akan tampak dari bagaimana sikap dan cara menghadapi penyakit tersebut. Apakah ia sibuk menyalah-nyalahkan orang lain, bahkan Allah swt, ataukah bersabar dengan mengusahakan kesembuhannya dengan cara yang diridhaiNya.
“Dan kami akan uji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan, dan kepada Kamilah kamu akan kembali.” (al-Anbiya: 35).
Iman seorang Mukmin dapat goyah ketika dihadapkan kepada cobaan besar. Sekali lagi baik berupa hal yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Misal saja jabatan. Seorang yang waktu mahasiswanya menjadi aktivis yang kritis dan gigih menentang ketidakadilan sebuah rezim, ketika di kemudian hari memeroleh jabatan di pemerintahan, godaan setan yang menyelimuti lingkungan kerja tak mampu dilawannya . Ia pun melakukan kezaliman berupa korupsi.
Dalam cobaan berupa siksaan, seorang ulama besar Nusantara pernah mengisahkan pengalamannya. Adalah Buya Hamka. Siapa tak kenal dan mengakui kebesaran kiprah dakwahnya? Sejak kecil ia dididik dalam lingkungan islami, ayahandanya sendiri seorang ulama yang disegani. Namun, ia mengaku pernah mengalami detik-detik di mana iman nyaris luntur dari lubuk hati sanubari.
Kala itu tahun 1964. Hamka ditangkap dan ditahan aparat. Interogasi dengan seribu satu pertanyaan yang dilontarkan siang-malam, pagi-petang, berhenti hanya saat shalat dan makan. Lima belas hari lima belas malam tindakan itu dilakukan. Vonis bersalah telah ditetapkan di awal. Kesalahan yang sebenarnya tidak ada, diada-adakan. Dari seribu satu ucapan, ada satu lontaran tuduhan yang paling membuat hatinya hancur, pandangan matanya kelam. “Saudara penghianat, menjual negara kepada Malaysia!”
Setelah polisi pergi, ia di ruang tahanan sendiri, teringatlah akan silet di sakunya. Jika silet itu diiriskan pada titik nadi, secara logika ia akan mati. Setan datang membujuk untuk melakukannya. “Hampir satu jam terjadi perang hebat dalam batin saya, di antara perdayaan iblis dan iman yang telah dipupuk berpuluh tahun ini. Sampai-sampai saya telah membuat surat wasiat yang akan disampaikan kepada anak-anak di rumah,” kenang Hamka dalam pengantar Tasawuf Modern cetakan XII. Alhamdulillah, Allah swt memberi pertolongan sehingga ia tetap istiqamah, tak membebek kata setan untuk melakukan tindakan bodoh tanda keputusasaan.
Pengalaman Buya Hamka tentu menjadi pelajaran penting nan berharga bagi kita. Seorang ulama besar saja masih sempat mengalami keadaan di mana cobaan yang berat hampir saja melunturkan iman. Apalagi kita yang masih ‘biasa-biasa saja’. Tentu penjagaan iman harus menjadi perhatian ekstra. Kita tak boleh meremehkan cobaan yang menimpa. Doa keistiqamahan tak boleh terlupa, mesti dibaca meski sehari hanya sekali saja.
Ya muqalibal qulub, tsabit qulubana ala dinika (Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas DinMu). Itulah salah satu contoh doa, agar Allah swt selalu menolong kita agar tetap istiqamah di jalanNya, walau betapa pun berat cobaan menerpa. Wallahu a’lam. []