PANJIMAS.COM – Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berqurban, apakah wajib atau sunnah, perbedaan tersebut sebagai berikut:
Pendapat Pertama, mengatakan bahwa berqurban hukumnya wajib bagi orang yang berkelapangan. Ini adalah pendapat Rabi’ah, al-Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Diantara dalilnya adalah:
Pertama : Firman Allah :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2).
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan untuk berqurban, dan pada dasarnya perintah tersebut mengandung kewajiban.
Kedua : Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda :
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah (3123), Ahmad ( 2/321), al-Hakim ( 4/349 ), ad-Daruquthni ( 4/285 ), al-Baihaqi ( 9/260 ). Hadist ini dihasankan oleh Syaikh al-Albani. Berkata Ibnu Hajar di dalam Bulughul Maram ( 405 ) : “ Hadist Riwayat Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan al-Hakim, tetapi para ulama hadist lebih membenarkan bahwa hadist ini mauquf )
Hadist di atas menunjukkan bahwa berqurban hukumnya wajib, karena beliau melarang orang yang tidak berqurban padahal mampu untuk mendekati tempat sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau hukumnya sunnah tentu tidak ada larangan seperti ini.
Ketiga : Hadist Jundub bin Sufyan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ كَانَ ذَبَحَ مِنْكُمْ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَلْيُعِدْ مَكَانَ ذَبِيحَتِهِ أُخْرَى ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ ذَبَحَ فَلْيَذْبَحْ بِاسْمِ اللَّهِ
“ Barang siapa diantara kalian yang telah menyembelih sebelum sholat ( Idul Adha ), maka hendaknya dia menggantinya dengan sembelihan lain. Dan barang siapa yang belum menyembelih, hendaknya dia menyembelih dengan nama Allah. “ ( HR. al-Bukhari(5562) dan Muslim (1960))
Perintah untuk mengganti, menunjukkan kewajiban, karena sesuatu yang sunnah jika ditinggalkan, tidak perlu diganti.
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam Majmu’ al-Fatawa ( 32/ 162-164 ) :
والأظهر وجوبها ( يعني الأضحية ) فإنها من أعظم شعائر الإسلام ، وهي النسك العام في جميع الأمصار ، والنسك مقرون بالصلاة ، وهي من ملة إبراهيم الذي أمرنا باتباع ملته ، وقد جاءت الأحاديث بالأمر بها
“Pendapat yang lebih tepat bahwa ber-qurban hukumnya wajib, karena qurban merupakan salah satu syiar Islam yang paling agung. Qurban adalah ibadah tahunan yang berlaku di semua daerah, ibadah ini selalu disertai dengan sholat, dan merupakan ajaran nabi Ibrahim yang kita diperintahkan untuk mengikutinya, dan banyak hadist-hadist yang memerintahkan untuk mengamalkannya. “
Berkata Syekh al-Utsaimin di dalam asy-Syarh al-Mumti’ ( 7/519 ) :
“Pendapat yang mengatakan bahwa ber-qurban hukum wajib bagi yang mampu adalah pendapat yang kuat, karena banyaknya dalil-dalil yang menunjukkan perhatian syariat terhadap ibadah qurban tersebut.”
Pendapat kedua : mengatakan bahwa berqurban hukumnya sunnah mu’akkadah. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, seperti Imam Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Ibnu Mundzir, Daud dan Ibnu Hazm. ( an-Nawawi, al-Majmu’ : 3/ 383 )
Berkata Abu Bakar al-Hashni di dalam Kifayat al-Akhyar(695):
وهي سنة مؤكدة وشعار ظاهر ينبغي لمن قدر عليها أن يحافظ عليها
“Berqurban merupakan sunnah yang sangat ditekankan, dan syiar yang nampak, maka hendaknya bagi yang mampu untuk selalu menjaga sunnah tersebut.”
Dalil-dalil mereka sebagai berikut :
Pertama : Hadist Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا رأيتم هلاَلَ ذي الحجة ، وأرادَ أحَدُكم أَنْ يَضَحِّيَ : فَلْيُمْسكْ عن شَعُرِه وأظْفَار
“ Jika kalian melihat bulan Dzulhijjah, dan salah satu diantara kalian ingin berqurban, maka hendaknya dia menahan untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya “ ( HR. Muslim (1977 ))
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَلاَ بَشَرِهِ شَيْئًا
“ Jika sudah memasuki sepuluh pertama ( bulan Dzulhijjah ), dan salah satu diantara kalian ingin berqurban, maka hendaknya dia jangan mencukur rambut dan memotong kukunya. “ ( HR Muslim (1977 ) Berkata Abu Malik dalam Shahih Fiqh as-Sunnah (2/368 ) : “ Para ulama berbeda pendapat apakah hadist ini marfu’ atau mauquf, tetapi yang nampak adalah marfu. “ )
Hadist di atas menunjukkan bahwa berqurban tidak wajib, karena kewajiban tidaklah diserahkan kepada keinginan setiap orang.
Kedua : Hadist Abu Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
أني لأدع الأضحية ، وأنا من أيسركم، كراهة أن يعتقد الناس أنها حتم واجب
“Sesungguhnya aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq ( 8149) dan al-Baihaqi (9/265) dengan sanad shahih.)
Ketiga: Atsar Abu Sarihah, bahwa beliau berkata :
رأيت أبا بكر و عمر ، وما يضحيان
“Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.” (HR. Abdur Razzaq ( 8139 ) dan al-Baihaqi ( 9/269), dengan sanad yang shahih)
Berkata Ibnu Hazm di dalam al-Muhalla ( 8/9) :
و لا يصح عن أحد من الصحابة أن الأضحية واجبة
“Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa berqurban adalah wajib.”
Kesimpulan :
Dari dua pendapat ulama di atas tentang hukum berqurban, maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran dan lebih kuat dalilnya adalah pendapat mayoritas ulama yang mengatakan bahwa berqurban hukumnya sunnah mu’akkadah dan bukan sesuatu yang wajib. Wallahu A’lam.