Oleh: Ustadz Felix Siauw
Panjimas.com – Dulu pas masih belum Muslim, liat orang dengerin lagu pop, kita bilangin “Lagu lu banci banget sih, emang lu besok mau jadi boyben? Kemayu-kemayu gitu, jijik deh, lagu tuh yang agak semangat, jantan, nge-rock gitu!”
Lama kelamaan eh malah saya yang nonton clip lagu F4, didenger-denger, lagu pop juga ternyata juga punya sisi menarik sendiri, liriknya santai, syairnya penuh arti.
Pernah juga liat orang main game bola, kita ejek, “Ampun, ngapain bola dikejer-kejer, pas dapet ditendang lagi, main tu Final Fantasy gitu lo, ada ceritanya, jelas!”
Eh, belakangan, saya main Winning Eleven 7 jam sehari, juara di sekolahan, kecanduan sampe kuliahan. Ternyata main game bola juga nggak jelek-jelek amat.
Ooo, saya jadi sadar waktu itu, nggak semua beda itu harus diejek, nggak semua beda itu salah, asal orang seneng, all-out dalam satu hal, itu baik bagi dia, selera nggak bisa dipaksa.
Pas sudah jadi Muslim, saat masa kuliah, ngeliat ada pengemban dakwah baca novel, saya bilangin mereka “baca kok yang nggak mutu, nggak ideologis, mbok ya kalo punya waktu, mending baca yang ideologis gitu lho!”
Ternyata apa mau dikata, sekarang saya penulis novel juga. Ternyata banyak hal-hal positif yang kita bisa selipkan lewat cerita, membangun karakter lewat cerita.
Juga punya denger kakak kelas, aktivis dakwah, terus udah terkenal, saya nyeletuk “sekarang sudah terkenal, susah ngundangnya, mesti pake pesawat merek tertentu, sombong.”
Astaghfirullah, sekarang saya tau rasanya, sekarang saya tau kenapa, padatnya jadwal, banyaknya amanah, kewajiban, juga membuat saya susah kasih jadwal, perlu standar ini-itu.
Ooo, ternyata kadang kita menilai orang memang dari luar, tanpa mencoba mengerti dan memahami. Dan ternyata, kita juga belum tentu sebaik dia kalau kita dikasi ujian yang sama.
Kita berucap ini dan itu, karena kita senantiasa menilai orang lain dengan standar kita, selera kita. Kita egois, karena kita nggak pernah mau melihat dari cara pandang orang lain.
Bijaksana. Kata memang takkan pernah kita pahami sebelum kita menjalani. Dan tidak bisa ditipu, waktu sangat berperan penting dalam memahami, arti bijak dan beramal dengannya.
Bedanya, dulu ketika masih kafir, saya nggak punya standar, mana yang harus ditoleransi, dan mana yang nggak harus ditoleransi, mana yang baik dan mana yang buruk, terserah masing-masing.
Sekarang, saat sudah jadi Muslim, standarnya jelas, halal-haramnya jelas, dalilnya sudah pasti. Akidah jelas nggak bisa beda, sementara perkara cabang seperti fiqh, masih mungkin ada celah beda.
Banyak yang sudah saya jalani, lebih banyak lagi yang belum saya mengerti. Tapi yang pasti saya dapati, ialah mencoba pahami mengapa orang melakukan sesuatu, bukan hanya menghukumi.
Mencoba memahami mengapa seseorang memilih yang ini bukan yang itu, mengapa sebuah jamaah ingin yang ini bukan yang itu, mengapa seseorang berprilaku begini bukan begitu.
Karena saya sudah terlalu sering menghakimi, tanpa mencoba mengerti dan memahami, dan sudah terlalu sering penyesalan, betapa hal itu merugikan, menimbulkan permusuhan, kebencian.
Menjadi pengemban dakwah itu mengejar jadi yang terbaik, bukan menganggap diri yang terbaik. Terus menerus menyucikan diri tanpa pernah menganggap dirinya suci.
Mencoba memahami bukan hanya menghukumi, bersikap adil mengalahkan rasa benci, mengutamakan sayang dibandingkan dendam, memaafkan pada setiap yang menyakiti.
Menjadi pengemban dakwah adalah memperbaiki orang lain, tapi juga memperbaiki diri tanpa henti, berterusan, senantiasa. Karena entah sampai kapan kita menjadi bijak yang sebenarnya.
Dan saya tahu, esok pada satu waktu nanti, bisa jadi tersungging senyum lucu ditambah penyelasalan, saat saya membaca tulisan ini, menyadari jauhnya saya dari kebenaran dan kebajikan. [TM]