PANJIMAS.COM – Sebagaimana kita ketahui bahwa i’tikaf merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dan memiliki berbagai keutamaan sebagai sarana untuk mendapatkan lailatul qadar.
Akan tetapi, di antara kita tentu tidak semua orang bisa melakukan i’tikaf secara sempurna, karena satu atau berbagai hal yang menjadikannya tidak bisa melaksanakan i’tikaf. Akan tetapi, bagi orang yang tidak atau belum sempat melakukan i’tikaf tidak sepatutnya meninggalkan amalan-amalan lain yang bermanfaat. Berikut beberapa amalan yang in syaa Allah pahalanya bisa menyamai pahala orang yang i’tikaf:
Pertama, Menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang beri’tikaf.
Jika kita menyediakan makanan berbuka atau makanan sahur untuk orang yang melakukan shaum dan i’tikaf, niscaya kita akan mendapatkan pahala yang sama dengan pahala shaum dan i’tikafnya. Berdasar hadits shahih,
عن زيد بن خالد الجُهَنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عن النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ فَطَّرَ صَائِماً ، كَانَ لَهُ مِثْلُ أجْرِهِ ، غَيْرَ أنَّهُ لاَ يُنْقَصُ مِنْ أجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani Rodhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa memberi makanan berbuka kepada orang yang melakukan shaum, maka baginya seperti pahala orang yang shaum, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang shaum.” (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, Ahmad, dan Ibnu Hibban. At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih).
Kedua, Memenuhi kebutuhan sesama muslim yang mengalami kesulitan hidup.
Banyak saudara kita, umat Islam, yang lemah dan miskin. Mereka kekurangan makanan, kehilangan tempat tinggal atau pekerjaan, sakit keras namun tidak mampu berobat, dan mengalami kesusahan lainnya. Menolong mereka dengan memenuhi kebutuhan mereka adalah amal kebajikan yang pahalanya begitu besar. Pahalanya bahkan lebih utama dari i’tikaf selama sebulan penuh. Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ ؟ وَأَيُّ الْأَعْمَالِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ أَنْفَعَهُمْ لِلنَّاسِ ، وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ سُرُورٍ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ ، أَوْ تَكْشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً ، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دِينًا ، أَوْ تُطْرَدُ عَنْهُ جُوعًا ، وَلِأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخٍ لِي فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ ، يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ ، شَهْرًا
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang sahabat mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala? Dan apakah amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling memberi manfaat kepada sesama manusia. Adapun amalan yang paling dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah engkau menggembirakan hati seorang muslim, atau engkau menghilangkan sebuah kesulitan hidupnya, atau engkau melunaskan hutangnya, atau engkau hilangkan kelaparannya. Sungguh aku berjalan untuk memenuhi kebutuhan seorang saudara muslim lebih aku senangi daripada aku beri’tikaf di masjid Madinah ini (masjid Nabawi) selama satu bulan penuh.” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya dalam Qadha-u Hawaij no. 36, Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath no. 6204, Al-Mu’jam Ash-Shaghir no. 862, dan Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13472. Dinyatakan hasan li-ghairih dalam tahqiq Al-Mu’jam Al-Kabir dan Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 2623. Dinyatakan shahih li-ghairih oleh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906)
Ketiga, Memanggul senjata dalam ibadah ribath (berjaga-jaga di daerah perbatasan kaum muslimin dengan daerah musuh, untuk menjaga keamanan kaum muslimin dari serangan musuh-musuh Islam).
Berbahagialah mereka yang berjihad di negeri-negeri yang didalamnya terjadi peperangan di Jalan Allah seperti Suriah, Afghanistan, Pakistan, Kashmir, Chechnya, Irak, Palestina, Yaman, dan tempat-tempat lainnya. Dengan sebab penjagaan mereka kaum Muslimin yang lain merasakan ketenangan dalam beribadah, apalagi di bulan yang penuh berkah ini (Ramadhan).
Pada saat yang sama, mujahidin harus senantiasa memeluk erat senjatanya dan berjaga setiap saat. Mereka lalui waktu mereka dalam ribath dan jihad demi menegakkan syariat Allah dan membela kaum muslimin dari tentara Yahudi, Nashrani, musyrikin, dan murtadin.
Sungguh berat tugas mereka, bahkan nyawa mereka setiap saat menjadi taruhannya. Namun pengorbanan yang begitu besar tentu bernilai pahala yang besar pula bahkan setiap malam yang mereka lalui dalam ribath dan jihad tersebut dinilai sebagai malam yang lebih baik dari lailatul qadar. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِلَيْلَةٍ أَفْضَلَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ؟ حَارِسٌ حَرَسَ فِي أَرْضِ خَوْفٍ ، لَعَلَّهُ أَنْ لَا يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian satu malam yang lebih utama dari lailatul qadar? Itulah (malam yang dilalui oleh) seorang (mujahid) yang berjaga di daerah (perbatasan dengan daerah musuh) yang ditakuti. Boleh jadi, dengan berjaga itu ia tidak bisa kembali kepada keluarganya lagi.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 18962, An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 7637, Al-Hakim no. 2382, dan Al-Baihaqi no.16918. Dinyatakan shahih oleh Al-Hakim dan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 2811). [AW/Ibnu Hajar]