PANJIMAS.COM – Ada di antara kaum muslimin yang melakukan puasa, tidaklah mendapatkan apa-apa kecuali lapar di perutnya dan dahaga yang menghinggapi tenggorokannya. Inilah yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur lagi membawa berita yang benar:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga”[1] .
Mengapa amalan puasa orang tersebut tidak teranggap dan dihitung, padahal dia telah susah payah menahan dahaga mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari? Berikut beberapa poin yang dapat mengurangi kesempurnaan pahala puasa kita, selayaknya untuk kita perhatikan dengan baik.
- Berkata Dusta (Qaula Az-Suur).
Inilah perkataan yang membuat puasa seorang muslim bisa sia-sia dan hanya merasakan lapar dan dahaga saja. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّٰهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, namun malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.[2]”
Apa yang dimaksud dengan az-zuur? Imam As-Suyuthi Rahimahullah mengatakan bahwa az-zuur adalah berkata dusta dan memfitnah (buhtan). Sedangkan mengamalkannya berarti melakukan perbuatan keji yang merupakan konsekuensinya yang telah Allah Ta’ala larang.[3]
- Lagwu (Sia-sia) dan Rafats (Porno/Mesum).
Sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.[4]”
Apa yang dimaksud dengan lagwu? Dalam Fathul Bari (3/346), Al-Akhfasy Rahimahullah mengatakan, “Lagwu adalah perkataan sia-sia dan semisalnya yang tidak berfaedah.”
Lalu apa yang dimaksudkan dengan rafats? Dalam Fathul Bari (5/157), Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Istilah rafats digunakan dalam pengertian ‘kiasan untuk hubungan badan’ dan semua perkataan keji. Istilah rafats adalah istilah untuk setiap hal yang diinginkan laki-laki pada wanita.” Atau dengan kata lain rafats adalah kata-kata porno.
Itulah di antara perkara yang bisa membuat amalan seseorang menjadi sia-sia. Betapa banyak orang yang masih melakukan seperti ini, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata kotor, dusta, sia-sia dan menggunjing orang lain.
Ingatlah bahwa puasa bukanlah hanya menahan lapar dan dahaga saja, namun hendaknya seorang yang berpuasa juga menjauhi perbuatan yang haram. Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah berkata, “Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan berbagai syahwat (yang sebenarnya mubah ketika di luar puasa seperti makan atau berhubungan badan dengan istri) tidak akan sempurna hingga seseorang mendekatkan diri pada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang Dia larang yaitu dusta, perbuatan zalim, permusuhan di antara manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.”[5]
Jabir bin ‘Abdillah menyampaikan petuah yang bagus: “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.”[6]
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja, sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan: “Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan saja.”
Meskipun demikian, apakah dengan berkata dusta dan melakukan maksiat, puasa seseorang menjadi batal?
Untuk menjelaskan hal ini, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut: “Mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan perkara yang mubah tidaklah akan sempurna sampai seseorang menyempurnakannya dengan meninggalkan perbuatan haram. Barangsiapa yang melakukan yang haram (seperti berdusta) lalu dia mendekatkan diri kepada Allah dengan meninggalkan yang mubah (seperti makan di bulan Ramadhan), maka ini sama halnya dengan seseorang meninggalkan yang wajib lalu dia mengerjakan yang sunnah. Walaupun puasa orang semacam ini tetap dianggap sah menurut pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu orang yang melakukan semacam ini tidak diperintahkan untuk mengulangi (mengqadha’) puasanya. Alasannya karena amalan itu batal jika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang karena sebab khusus dan tidaklah batal jika melakukan perbuatan yang dilarang yang bukan karena sebab khusus. Inilah pendapat mayoritas ulama.”
Ibnu Hajar Rahimahullah dalam Al-Fath (6/129) juga mengatakan mengenai hadits perkataan zuur (dusta) dan mengamalkannya: “Mayoritas ulama membawa makna larangan ini pada makna pengharaman, sedangkan batalnya hanya dikhususkan dengan makan, minum dan jima’ (berhubungan suami istri).”
Mala ‘Ali Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih (6/308) berkata: “Orang yang berpuasa seperti ini sama keadaannya dengan orang yang haji yaitu pahala pokoknya (ashlu) tidak batal, tetapi kesempurnaan pahala yang tidak dia peroleh. Orang semacam ini akan mendapatkan ganjaran puasa sekaligus dosa karena maksiat yang dia lakukan.”
Kesimpulannya: Seseorang yang masih gemar melakukan maksiat di bulan Ramadhan seperti berkata dusta, memfitnah, dan bentuk maksiat lainnya yang bukan pembatal puasa, maka puasanya tetap sah, namun dia tidak mendapatkan ganjaran yang sempurna di sisi Allah Ta’ala. Semoga kita dijauhkan dari hal-hal semacam ini. [AW/Tutorial Ramadhan]
_________________________