PANJIMAS.COM – Kadangkala, ada sebagian kaum Muslimin yang bingung, apakah hal-hal yang dilakukannya masih diperbolehkan atau tidak saat menjalani ibadah puasa. Berikut ini beberapa aktivitas yang diperbolehkan dalam berpuasa serta penjelasannya.
- Memasuki waktu Fajar dalam Keadaan Junub.
Berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan tetap berpuasa.”[1]
- Bersiwak ketika Berpuasa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya: “Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu.[2]”
Penulis Tuhfatul Ahwadzi Rahimahullah mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.” [3] Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga sore hari.[4]”
Syaikh Utsaimin Rahimahullah juga berpendapat: Adapun pasta gigi lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.[5]
- Berkumur-kumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung Asal tidak Berlebihan.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمً.
“Dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung ketika wudhu) kecuali jika engkau berpuasa.[6]”
Ibnu Taimiyah Rahimahullah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung ketika berwudhu) dibolehkan bagi orang yang berpuasa dan hal ini disepakati oleh para ulama. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.[7]”
- Bercumbu dan Mencium Istri selama Aman dari Keluarnya Mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani.[8]
Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani.[9]”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. Beliau melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.[10]”
Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, dari ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?”[11]
Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah, “Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.[12]”
- Bekam dan Donor Darah jika tidak Membuat Lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ kأَنَّالنَّبِىَّgاحْتَجَمَ وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ
“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihram dan berpuasa.[13]”
يُسْأَلُ أَنَسُ بْنَ مَالِكٍ hأَكُنْتُمْتَكْرَهُونَالْحِجَامَةَلِلصَّائِمِقَالَلَا إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Anas bin Malik ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.[14]”
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy-Syafi’i r dalam kitab Al-Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam, aku tidak menganggap puasanya batal.[15]”
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Pertama, boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang telah dimansukh (dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu berikut:
رَخَّصَ النَّبِىُّ g فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsah) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.[16]”
Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shahih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsah) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam.” Sanad hadits ini shahih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsah (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).[17]”
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al-Albani Rahimahullah mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shahih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm Rahimahullah di atas.”[18]
Kedua, pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adala h bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang shahabat:
أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ g نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ.
“Rasulullah g melarang berbekam dan puasa wishal -namun tidak sampai mengharamkan -, ini masih berlaku bagi shahabatnya.”[19]
Jika kita melihat dalam hadits Anas h yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah. Anas h ditanya:
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ.
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[20]
- Mencicipi Makanan selama tidak Masuk dalam Kerongkongan.
Dari Ibnu ‘Abbas k, ia mengatakan,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ أَوْ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ.
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerangkangan.[21]”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah r mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana berkumur-kumur ketika berpuasa.[22]”
Yang termasuk dalam mencicipi adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah makanan untuk si kecil.
‘Abdur Razaq r dalam Mushannaf-nya membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Razaq r membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata,
رَأَيْتُهُ يَمْضَغُ لِلصَّبِي طَعَامًا وَهُوَ صَائِمٌ يَمْضَغُهُ ثُمَّ يُخْرِجُهُ مِنْ فِيْهِ يَضَعَهُ فِي فَمِ الصَّبِي.
“Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.[23]”
- Memakai Celak dan Tetes Mata.
Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa [24]. Ibnu Taimiyah r menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah c haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah g akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau g, tentu para shahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau g baik hadits shahih, dhaif, musnad (bersambung sampai Nabi g) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau g tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dhaif (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.[25]”
Al-Hasan Al-Bashri r mengatakan,
لَا بَأْس بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ.
“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.[26]”
Adapun tetes mata [27], sejak masa silam para ulama telah berselisih pendapat mengenai sesuatu yang dikenakan atau ditetesi pada mata. Perselisihan ini berasal dari masalah apakah mata adalah saluran seperti mulut, atau antara mata dan perut terdapat suatu saluran, atau sesuatu yang diteteskan pada mata bisa masuk perut melalui pori-pori.
Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa tidak ada saluran yang menghubungkan antara mata dan perut atau mata ke otak. Sehingga mereka menganggap sesuatu yang diteteskan ke mata tidaklah membatalkan puasa.
Ulama Malikiyah dan Hambali berpendapat bahwa mata adalah rongga sebagaimana mulut dan hidung. Sehingga jika seseorang bercelak dan terasa ada zat makanan dalam kerongkongan, puasanya batal.
Kalau kita meninjau pendapat para dokter saat ini, mereka menyatakan bahwa terdapat saluran antara mata dan hidung, kemudian akan bersambung ke kerongkongan. Bagaimana pun, baik ada saluran atau tidak masih ada tinjauan lain yang mesti dilihat.
Adapun ulama belakangan, berselisih pendapat mengenai tetes mata apakah membatalkan puasa ataukah tidak.
Pendapat pertama, inilah pendapat kebanyakan ulama belakangan bahwa tetes mata tidak membatalkan puasa. Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dan Dr. Wahbah Az Zuhaili.
Alasan mereka, bahwa:
- Tetes mata yang masuk pada lubang mata hanyalah sedikit, cuma satu atau dua tetes. Jika hanya sedikit, berarti dimaafkan sebagaimana berkumur-kumur ketika puasa.
- Tetes mata ketika masuk dalam saluran maka ia langsung terserap dan tidak mengalir terus hingga kerongkongan.
- Tetes mata tidaklah membatalkan puasa karena tidak ada nash (dalil tegas) yang menyatakannya sebagai pembatal. Ditambah lagi mata bukanlah saluran tempat masuknya zat makanan dan minuman.
Pendapat kedua, tetes mata membatalkan puasa. Ulama belakangan yang berpandangan seperti ini adalah Syaikh Muhammad Al-Mukhtar As-Sulami dan Dr. Muhammad Alfiy.
Alasan mereka, bahwa:
- Diqiyaskan (dianalogikan) dengan celak mata karena pengaruhnya sampai ke kerongkongan.
- Allah sendiri telah menetapkan bahwa ada saluran yang menghubungkan mata dan hidung hingga ke kerongkongan.
Akan tetapi, pendapat kedua ini disanggah oleh ulama lainnya dengan sanggahan, bahwa:
- Mengenai celak sebagaimana disebutkan sebelumnya terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Yang tepat, celak mata tidaklah membatalkan puasa. Maka tidak tepat jika tetes mata diqiyaskan dengan celak mata.
- Tetes mata yang masuk pada lubang mata hanyalah sedikit dan jika hanya sedikit, berarti dimaafkan sebagaimana berkumur-kumur ketika puasa.
Pendapat yang tepat, tetes mata tidaklah membatalkan puasa karena melihat beberapa alasan yang dikemukakan di atas.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu waliyyut taufiq.
- Mandi dan Menyiramkan Air di Kepala untuk Menyegarkan Badan.
Imam Bukhari r membawakan Bab dalam kitab shahihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa. ’ Ibnu Hajar r berkata, “Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az-Zain Ibnul Munayyir r berkata bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali h mengenai larangan orang yang berpuasa untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq r, namun dengan sanad dhaif (lemah). Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.”[28]
Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata, “Sungguh, aku melihat Rasulullah g di Al-‘Araj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa.”[29]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunnah atau mubah.”[30]
- Menelan Dahak.
Menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak [31] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.
- Menelan Sesuatu yang Sulit Dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelan, puasanya jadi batal.[32]
- Makan, Minum, Jima’ (bersetubuh) dalam Keadaan Lupa [33]
- Muntah yang tidak Sengaja.
Abu Hurairah h meriwayatkan dari Rasulullah g, beliau g bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَىْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ.
“Barangsiapa yang muntah maka tidak harus mengganti puasanya dan barangsiapa yang sengaja muntah maka dia harus mengganti puasanya”[34]
[1] HR Bukhari no. 1926
[2] Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1: 73 dengan sanad lebih lengkap. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[3] Tuhfatul Ahwadzi, 3: 345
[4] Majmu’ Fatwa wa Rasa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17: 259
[5] Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu ‘Utsaimin, 17: 261-262
[6] HR Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An-Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih
[7] Majmu’ Al-Fatawa, 25: 266
[8] Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyah, 36: 52-53 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111.
[9] Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7: 215
[10] HR Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106
[11] HR Ahmad 1: 21. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim
[12] Riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4: 149), dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih
[13] HR Bukhari no. 1938
[14] HR Bukhari no. 1940
[15] Al-Umm, 2/106
[16] HR Ad-Daruquthni 2/183 dan Ibnu Khuzaimah 7/247. Ad-Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadits ini tsiqah/terpercaya kecuali Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf -yaitu hanya sampai pada shahabat-. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqah/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ -sampai pada Nabi- atau mawquf -sampai shahabat-.
[17] Dinukil dari Al-Irwa’, 4/74
[18] Al-Irwa’, 4/75
[19] HR Abu Daud na 2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama shahabat tidak disebutkan. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/113-114
[21] HR Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 2/304. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan
[22] Majmu’ Al-Fatawa, 25/266-267
[23] HR ‘Abdur Razaq dalam Mushannafnya (4/207).
[24] Lihat Shifat Shaum Nabi, hal. 56 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/115.
[25] Majmu’ Al-Fatawa, 25/234
[26] Dikeluarkan oleh ‘Abdur Razaq dengan sanad yang shahih. Lihat Fathul Bari, 4/154
[27] Pembahasan ini adalah faedah dari pembahasan Syaikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khalil (Asisten Profesor di jurusan Fikih Jami’ah Al-Qashim) dalam tulisan “Mufthirootu Ash-Shiyam Al-Mu’ashiroh”, diambil dari: www.rumaysho.com
[28] Fathul Bari, 4/153
[29] HR Abu Daud no. 2365
[30] ‘Aunul Ma’bud, 6/352
[31] Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik dari dada.
[32] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118.
[33] Sebagaimana penjelasan pada Bab sebelumnya
[34] HR Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, sanadnya shahih sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah di Haqiqah Ash-Shiyam (hal 14)