(Panjimas.com) – “Setiap kalian sejatinya adalah seorang penda’i..”
Kutipan kata-kata diatas jika dimaknai adalah sebuah kata penyadaran bagi kita, bahwa setiap diri seorang muslim itu ternyata sejatinya merupakan seorang penda’i dengan apapun profesinya. Dalam artian, setiap seorang muslim itu sejatinya mengemban amanah menyampaikan da’wah berupa ajaran tauhid dan syari’at islam kepada manusia lainnya.
Dalam da’wah dibutuhkan strategi, tatacara, pemilihan uslub, bahkan manhaj yang cocok kepada para mad’u, agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik.
لَقَدْكَانَلَكُمْفِيرَسُولِاللَّهِأُسْوَةٌحَسَنَةٌلِمَنْكَانَيَرْجُواللَّهَوَالْيَوْمَالْآخِرَوَذَكَرَاللَّهَكَثِيرًا
“Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)
Allah telah memberikan petunjuk suri tauladan dalam diri Rasul kita Muhammad SAW, suri tauladan dari segala sisi, ibadahnya, amalnya, akhlaqnya, da’wahnya, uslubnya, adabnya, semuanya akan kita dapati pada diri Rasulullah SAW.
Maka teguran Allah pada kekasihnya menjadi pelajaran bagi kita bagaimana kita mengambil sikap dalam da’wah ini.
وَلَوْكُنْتَفَظًّاغَلِيظَالْقَلْبِلَانْفَضُّوامِنْحَوْلِكَ
“Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu.” (QS. Ali ‘Imron : 159)
Sikap keras dalam da’wah hanyalah akan menakut-nakuti mad’u kita, bukannya dia akan mendengar akan tetapi justru ia akan berbalik badan, menutup telinga, dan tak lagi ingin mendengar satu patah kata dari kita.
Uslub atau gaya bahasa yang dipilih dalam menyampaikan da’wah juga salah satu bagian terpenting dalam da’wah. Coba kita tengok kisah Nabiyullah Nuh ketika bicara pada anaknya yang kafir menolak diajak pada ajaran tauhid, beliau mengatakan.
وَنَادَىنُوحٌابْنَهُوَكَانَفِيمَعْزِلٍيَابُنَيَّارْكَبْمَعَنَا
“Dan Nuh memanggil anaknya ketika ia berada di tempat yang terpencil, “Wahai anakku! Naiklah ke kapal bersama kami.” (QS. Hud : 42)
Walaupun anak Nabi Nuh kafir kepada ajaran yang ia bawa dan menolak dengan keras lagi terang-terangan, akan tetapi Nabi Nuh tidak serta merta memanggil anaknya dengan panggilan “Hai, Kafir.!” atau “Hai, Fasiq..!” akan tetapi Nabi Nuh tetap memanggilnya dengan ucapan yang lembut, “Wahai anakku..”
Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, tatkala mendapati ternyata ayahandanya sendirilah yang memahat berhala terbesar yang merupakan sekutu dari Rabb-Nya, yang ajaranNya beliau serukan, apa yang dikatakan beliau kepada ayahnya..?
ياأبتي
“Wahai ayahku..”
Nabi Ibrahim tidak memanggil ayahnya “Ya Kafir, atau Ya Fasiq, atau hai munafiq”, akan tetapi beliau masih sopan dengan memanggilnya ayah.
Nabi Musa, selama 1000 tahun kurang 50 tahun atau 950 tahun tetap bersabar menyeru ajaran tauhid dijalan Allah kepada kaumnya, dan selama itu tak ada bosan beliau menyeru.
ياقومياعبدواالله…
“Wahai kaumku, sembahlah Allah..”
Juga kepada Raja yang terkenal dzalim lagi lalim, yang mengaku Tuhan dihadapan kaumnya, apa yang Allah perintahkan kepada beliau ketika menghadapinya untuk menyampaikan ajaran tauhid?
اذْهَبَاإِلَىفِرْعَوْنَإِنَّهُطَغَى (43) فَقُولَالَهُقَوْلًالَيِّنًالَعَلَّهُيَتَذَكَّرُأَوْيَخْشَى
“Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun karena sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengandengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thahaa : 43-44)
Sampai-sampai kepada Fir’aun yang mengaku Rabb saja Allah masih perintahkan untuk bertutur lembut kepadanya.. MaasyaAllah..
Nabi Muhammad SAW, apa yang dikatakan beliau di Fathul Makkah tatkala menghadapi musrikiy makkah, disaat disitulah puncak dari dua kubu berperang, dan jelas Allah menjamin Rasulnya untuk menang untuk itu.. Apa yang kemudian beliau katakan pada kaum musyrik saat itu..?
ماتظنونأنيفاعلبكم؟
أخو الكريم ابن أخي الكريم
إذهبوافأنتمالطلقاء
“Kiranya apa yang akan aku perbuat dengan kalian?
“Kamu (Muhammad) adalah saudara kami yang baik anak dari saudara kami yang baik pula..”
“Pergilah kalian semua, sesungguhnya kalian telah bebas..”
Kearifan beliau, keluasan hati dan kelembutan sikap berpadu yang hal ini kemudian menjadikan kaum musyrik makkah perlahan demi perlahan berbondong-bondong masuk islam.
Dari sekian permisalahan yang Al-Quran tuturkan diatas, kiranya dapat kita petik pelajaran darinya tentang bagaimana cara memilih uslub yang tepat untuk mad’u yang tepat dan dalam kondisi yang tepat.
Maka betapa memilih sikap dan gaya bahasa dalam menyampaikan da’wah itu menjadi salah satu titik terpenting yang sangat perlu diperhatikan. Bertutur lembutlah dan bergaul dengan cara yang ma’ruf, urusan kita hanya sebatas menyampai amanah da’wah, sedang pemilik hati dan yang maha membolak balik nya adalah Allah Subhanahu wata’alaa. Wallahu a’lam bishshawaab. [NF]