(Panjimas.com) – Suatu hari, Miqdad bin Amr diangkat oleh Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam sebagai pemenang kendali (amir) di suatu daerah. Tatkala ia kembali dari tugasnya, Nabi bertanya, “Bagaimanakah pendapatmu setelah menjadi amir?”
Ia pun menjawab dengan jujur, “Engkau telah menjadikan diriku menganggap diri sendiri di atas semua manusia, sedangkan mereka semua di bawahku. Demi Dzat yang telah mengutusmu membawa kebenaran, sejak saat ini saya tidak berkeinginan menjadi pemimpin sekalipun untuk dua orang untik selama-lamanya.”
Miqdad adalah sosok laki-laki yang tidak ingin tertipu oleh dirinya sendiri dan tidak mau terpedaya oleh kelemahannya. Ia memegang jabatan sebagai amir, hingga dirinya diliputi oleh kemegahan dan pujian. Kelemahan ini disadarinya hingga ia bersumpah akan menghindarinya dan menolak untuk menjadi amir lagi setelah pengalaman pahit itu. Faktanya, setelah itu ia benar-benar mepati janji dan sumpahnya itu, hingga sejak itu ia tidak pernah mau menerima jabatan amir.
Miqdad selalu mendengarkan hadits yang didengarnya dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam:
“Orang yang berbahagia ialah orang yang dijauhkan dari fitnah.”
Oleh karena itu, jabatan sebagai amir itu dianggapnya suatu kemegahan yang menimbulkan atau hampir menimbulkan fitnah bagi dirinya, maka syarat untuk mencapai kebahagiaan baginya, ialah menjauhinya. Salah satu perwujudan kearifannya ialah tidak tergesa-gesa dan sangat hati-hati menjauhkan putusan atas seseorang. Dan ini juga ia pelahari dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam yang telah menyampaikan kepada umatnya, “bahwa hati manusia lebih cepat berbolak-balik daripada isi periuk saat mendidih.”
Kecintaan Miqdad kepada Islam tidak terkira besarnya. Kecintaannya kepada Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam menyebabkan hati dan pikirannya dipenuhi rasa tanggung jawab terhadap keselamatan orang yang dicintainya, hingga setiap ada kebohongan di Madinah, secepat kilah Miqdad telah berada di ambang pintu rumah Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam menunggang kudanya, sambil menghunus pedang atau tombaknya.
Sementara itu, kecintaannya kepada Islam menyebabkannya bertanggung jawab terhadap keamananya. Tidak saja dari tipu daya musuh-musuhnya, tetapi juga dari kekeliruan rekan-rekannya sendiri.
Miqdad telah menunjukkan sikap yang mulia. Keagungan din ini telah mengangkatnya ke posisi yang terhormat. Ia berlalu sambil mendendangkan kata-kata:
“Biarlah aku mati, asal Islam tetap jaya.”
Memang itulah yang menjadi cita-citanya, yaitu kejayaan Islam walau harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Dengan keteguhan hari yang menakjubkan ia berjuang bersama para sahabatnya untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Karena itu, sangat pantas bila ia mendapat kehormatan dari Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassalam menerima ucapan berikut:
“Sungguh, Allah telah menyuruhku untuk mencintaimu, dan menyampaikan pesan-Nya kepadaku bahwa Dia mencintaimu.”