PANJIMAS.COM – Tradisi mudik bagi masyarakat Indonesia seolah-olah tidak bisa lepas ketika menjelang Hari Raya Idul Fitri. Meskipun sebenarnya sama sekali tak ada perintah dalam Islam yang menyerukan agar umat Islam mudik jelang Idul Fitri.
Biasanya, tradisi mudik dilakukan selain karena keinginan bertemu sanak kerabat, juga waktu libur pada hari-hari itu relatif memungkinkan.
Meski demikikian mudik identik dengan safar atau mengadakan perjalanan di mana hal ini telah diatur dalam Islam. Selain persiapan-persiapan standar mudik, adab-adab syar’i ketika safar juga harus diperhatikan. Tidak lain agar tujuan kita berjalan, dan amalan sya’ipun juga bisa ditunaikan. Selain itu, agar mudik menjadi barakah dan mendapat keridhaan dari Allah ‘azza wa jalla. Berikut ini tipsnya. Mudah-mudahan membantu perjalanan mudik Anda.
Hal-Hal Syar’i Yang Harus Diperhatikan Sebelum Mudik
1. Ketika hendak mudik, disunnahkan berpamitan dengan sanak saudara yang berada di rumah atau tetangga. Ketika berpamitan, hendaknya saling mendoakan. Selain itu, bisa sebagai wasilah untuk menitipkan rumah selama bepergian.
Imam Ibnu Abdil Barr Rahimahullah berkata, “Jika salah seorang dari kalian keluar bersafar maka hendaklah ia berpamitan kepada saudaranya, karena Allah Ta’ala menjadikan pada doa mereka berkah.”
Doa orang yang hendak pergi kepada yang ditinggalkan
أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ
“Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya..” (HR. Ahmad)
Doa orang yang ditinggalkan kepada orang yang hendak bepergian
Sebagaimana doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melepas pasukan perang:
أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ، وَأَمَانَتَكَ، وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
“Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian.” (HR. Tirmidzi)
2. Ketika mudik, tidak dianjurkan untuk pergi sendirian. Lebih utamanya minimal 3 orang atau lebih. Namun jika tidak ada lagi yang diajak untuk pergi sedangkan itu penting, maka tidak mengapa.
الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
“Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir) adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut rombongan musafir.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
3. Disunnahkan mengangkat pemimpin di dalam sebuah perjalanan. Salah satu hikmahnya adalah pemberi keputusan, dan sebagai imam ketika melakukan shalat berjamaah.
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka mengangkat salah di antaranya sebagai ketua rombongan.” (HR. Abu Dawud)
4. Perlu diperhatikan, seorang wanita dilarang bepergian kecuali ditemani mahram.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah wanita safar (bepergian jauh) kecuali bersama dengan mahromnya… (HR. Bukhari-Muslim)
5. Berdoa sebelum berangkat dan shalat dua raka’at.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَخْرَجِ السُّوْءِ وَإِذَا دَخَلْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَدْخَلِ السُّوْءِ
“Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.” (HR. Al-Bazzar)
Doa ketika meninggalkan rumah
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan izin Allah,”
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ , أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ , أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ , أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ ” (د) 5094 [قال الألباني]: صحيح
“Ya Allah! sesungguhnya aku berlindung kepadaMu, jangan sampai aku sesat atau disesatkan (syetan atau orang yang berwatak syetan), atau tergelincir dan digelincirkan (orang lain), atau berbuat zalim atau dizalimi, atau dari berbuat bodoh atau dibodohi.” (hadits Shahih, dishahihkan Al-Albani dalam kitabnya Shahih Sunan Abu Daud 5094).
Doa ketika naik kendaraan (bus, kereta, kapal, sepeda motor, mobil, pesawat, dll)
اَلْحَمْدُ لِلهِ (سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَـهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ) اَلْحَمْدُ لِله اَلْحَمْدُ لِلَّهِ اَلْحَمْدُ لِله ، اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Segala puji hanya milik Allah, ( Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Segala puji hanya milik Allah, Segala puji hanya milik Allah, Segala puji hanya milik Allah, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Mahasuci Engkau, Ya Allah. Sesungguhnya aku telah menganiaya diriku, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud 2602, Tirmidzi 3446, Hakim II/99, Ahmad takhrij Ahmad Syakir 753, Hadits ini Shahih)
اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, اللهُ أَكْبَرُ, (سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَـهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ) الَلَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَالتَّقْوَى ،وَمِنَ العَمَلِ مَا تَرْضَى ، الَلَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، الَلَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِيْ الأَهْلِ ، الَلَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُبِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَالأَهْلِ
“Allah Maha Besar (3X). Maha Suci Rabb yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedangkan sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Ya, Allah! Sesungguhnya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam perjalanan ini, kami memohon perbuatan yang meridhokanMu. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkanlah jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkau-lah teman dalam bepergian dan yang mengurusu keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga”. (HR. Muslim 1342, Tirmidzi 3444, Abu Dawud 2599, Ahmad II/144 dan 150, An-Nasa’I 548. Ini hadits Shahih)
Doa Apabila kembali dari safar
Doa di atas dibaca (yakni doa bepergian), kemudian ditambah dengan berdoa:
آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لَرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Råbb kami. (HR. Muslim 2/998).
6. Memilih waktu terbaik ketika safar
Dianjurkan untuk melakukan safar pada hari Kamis sebagaimana kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada hari Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari Kamis.” (HR. Bukhari no. 2950.)
Dianjurkan pula untuk mulai bepergian pada pagi hari karena waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah. Sebagaimana do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu pagi,
اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا
“Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya.” (HR. Abu Daud no. 2606 dan At Tirmidzi no. 1212. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya (baca: shahih lighoirihi). Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1693.)
Juga waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal malam. Ada pula yang mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di malam hari. Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu jarak bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.” (HR. Abu Daud no. 2571, Al Hakim dalam Al Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5/256. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah no. 681.)
Apa saja yang perlu dipersiapkan ketika mudik?
- Menyiapkan bekal selama perjalanan. Usahakan bekal yang tahan dalam kondisi lama.
- Menyiapkan tenaga dan tidur cukup agar fit ketika perjalanan.
- Membawa obat-obatan P3K sebagai antisipasi penyakit ketika perjalanan.
- Siapkan alat-alat komunikasi beserta kelengkapannya (charger, power bank, dll)
- Menyiapkan barang-barang yang akan dibawa sehari atau dua hari sebelumnya. Ini untuk menghindari lupa atau tertinggalnya barang ketika hendak berangkat.
- Bagi yang membawa anak atau wanita calon ibu, hendaknya disiapkan vitamin untuk menjaga kondisi selama perjalanan.
- Bagi yang membawa bayi, pastikan kondisi bayi sehat dan penuhilah kebutuhan bayi selama perjalanan.
- Membawa uang tunai secukupnya. Walaupun ada mesin ATM, uang tunai tetap diperlukan untuk antisipasi jarangnya mesin ATM.
- Membawa alat penunjuk jalan. Bisa berupa GPS (Global Positioning System) dalam aplikasi smart phone atau peta jalur mudik.
- Mengecek kondisi kendaraan pribadi yang akan digunakan untuk mudik. Ketika ada kerusakan, usahakan diperbaiki leboh dahulu sebelum melakukan perjalanan.
- Ketika hendak pergi, pastikan rumah sudah terkunci, kompor dimatikan, dan listrik dinyalakan seperlunya.
Beberapa Hal yang perlu Diperhatikan dalam Perjalanan
1. Dalam syariat Islam, seorang yang melakukan perjalanan dengan alat transportasi dibolehkan melakukan shalat di atas kendaraan. Ketika memang tidak memungkinkan untuk turun melakukan shalat di mushala atau masjid, maka Islam memberi alternatif shalat di kendaraan.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَافَرَ فَأَرَادَ أَنْ يَتَطَوَّعَ اسْتَقْبَلَ بِنَاقَتِهِ الْقِبْلَةَ فَكَبَّرَ ثُمَّ صَلَّى حَيْثُ وَجَّهَهُ رِكَابُه
“ Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melakukan perjalanan, bila ingin sholat sunnah maka beliau menghadap qiblat dengan untanya, kemudian bertakbir dan sholat sesuai dengan kemana menghadapnya (unta).” (HR. Abu Daud)
2. Islam memberi kelonggaran untuk menjamak dan meng-qashar shalat ketika perjalanan. Menjamak shalat berarti menggabungkan 2 shalat dalam satu waktu. Sedangkan meng-qashar berarti meringkas shalat, misalnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Orang yang berpergian meng-qashar shalat ketika telah berniat safar dan meninggalkan semua rumah di kampungnya, ini sebagaimana yang dikatakan Ibnul Mundzir.
Dipersilahkan bagi musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya’. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى السَّفَرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika safar” (HR. Bukhari).
Mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’) menjadi dua raka’at.
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.”(HR. Bukhari no. 350 dan Muslim no. 685.)
3. Ketika ada gangguan selama perjalanan, hendaknya mengucap basmalah.
Misalnya ketika kendaraan mogok, janganlah mengucap sumpah serapah atau menjelek-jelekkan syetan. Hal ini akan membuat syetan besar kepala. Namun berucaplah basmalah (bacaan “bismillah”)
Dari Abul Malih dari seseorang, dia berkata, “Aku pernah diboncengi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu tunggangan yang kami naiki tergelincir. Kemudian aku pun mengatakan, “Celakalah syaithan”. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyanggah ucapanku tadi,
لاَ تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولَ بِقُوَّتِى وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ
“Janganlah engkau ucapkan ‘celakalah syaithan’, karena jika engkau mengucapkan demikian, setan akan semakin besar seperti rumah. Lalu setan pun dengan sombongnya mengatakan, ‘Itu semua terjadi karena kekuatanku’. Akan tetapi, yang tepat ucapkanlah “Bismillah”. Jika engkau mengatakan seperti ini, setan akan semakin kecil sampai-sampai dia akan seperti lalat.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Albani)
4. Saat menjumpai jalan naik atau di ketinggian, hendaknya bertakbir. Ketika jalan turun, bertasbih.
Hal ini berdasarkan hadits Jabir, ia menuturkan, “Apabila (jalan) kami menanjak, maka kami bertakbir, dan apabila menurun maka kami bertasbih”. (HR. Bukhari)
5. Ketika singgah di sebuah tempat, disunnahkan berdoa dan membaca dzikir ketika masuk desa/kota.
Dari Khaulah binti Hakim As-Sulamiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: Saya mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia berdoa:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung kepada dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan makhluk yang Engkau ciptakan.” (maka) Tidak akan ada sesuatupun yang dapat memberinya madharat sampai ia berlalu dari tempat tersebut.” (HR. Muslim)
Disebutkan dalam shahih Ibnu Khuzaimah, bahwa tidaklah Rasulullah melihat suatu daerah, dan hendak untuk memasukinya; kecuali beliau membaca pada saat melihat daerah tersebut:
اللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَوَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ ، وَرَبَّ الأَرَضِينَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ ، وَرَبَّ الشَّيَاطِينِ وَمَا أَضْلَلْنَ ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ
“Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan apa yang dinaunginya. Tuhan penguasa tujuh bumi dan apa yang di atasnya. Tuhan Yang menguasai syetan-syetan dan apa yang mereka sesatkan. Tuhan Yang menguasai angin dan apa yang diterbangkannya.”
6. Perbanyaklah berdoa selama perjalanan, karena doa ketika safar (perjalanan) itu mustajab/ dikabulkan.
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَالْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Terdapat tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi padanya: doa orang yang dizhalimi, doa orang yang bepergian, dan doa orang tua kepada anaknya.” (HR. Tirmidzi, hadits hasan)
7. Usahakan rileks ketika menyetir atau duduk dalam kendaraan.
8. Untuk yang menyetir atau naik motor, ketika mengantuk, sebaiknya berhenti. Tidur atau istirahat sejenak agar badan kembali fit.
9. Ketika badan pegal, berhentilah dan lakukan gerakan-gerakan ringan untuk melemaskan otot-otot yang tegang.
10. Pergunakanlah alat bantu penunjuk arah ketika bingung dengan arah tujuan. Jangan sungkan untuk berhenti dan bertanya dengan sopan kepada orang-orang di pinggir jalan.
11. Jika ingin mencari warung untuk makan, perhatikan kondisi warung: kebersihan, kehalalan, dan harga agar tidak tertipu.
12. Masalah buang air kecil atau besar: Perhatikan kondisi tempat untuk buang air, buang air di tempat yang tertutup dan dibersihkan setelah selesai.
13. Masalah mencari tempat shalat: Usahakan cari tempat shalat di masjid atau mushala. Carilah masjid yang tidak ada kuburan di dalamnya dan mudah dijangkau.
14. Bagi yang naik transportasi umum: Berhatilah-hatilah selama berada di perjalanan, barang-barang berharga pastikan tidak mencolok dan taruh di bagian dalam, cek kembali barang bawaan ketika akan turun, dan pastikan kendaraan benar-benar berhenti sebelum turun.
15. Memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga ketika ingin kembali dari safar. Bahkan tidak disukai jika datang kembali dari bepergian pada malam hari tanpa memberitahukan pada keluarga terlebih dahulu.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari.” (HR. Bukhari no. 1801)
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya datang dari bepergian pada pagi atau sore hari.” (HR. Bukhari no. 1800 dan Muslim no. 1928). [AW/Nahimunkar, dbs]