Oleh: Ustadz Umar Faruq Lc (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)
(Panjimas.com) – Mau tau siapa orang yang paling mulia? Lihatlah siapa yang paling memuliakan tamunya…! Engkau mau jadi orang mulia? Maka muliakanlah tamu-mu wahai saudaraku…!
Memuliakan tamu adalah ciri utama orang yang mulia. Bahkan itu menjadi tanda beriman dan tidaknya seseorang dihadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (SWT).
Sejak 14 abad yang lalu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) sebagai manusia mulia dan teladan bagi seluruh manusia telah mengajarkan kepada kita untuk saling memuliakan diantara sesama, terlebih lagi kepada tamu yang datang ke rumah kita. Beliau SAW menyatakan:
وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ الْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah SWT memberitakan kepada kita melalui lisan Rasul-Nya yang mulia, bahwa perkara pemuliaan tamu berkaitan dengan kesempurnaan iman seseorang kepada Allah dan hari akhir. Padahal tidak diragukan lagi bahwa keimanan kepada Allah dan hari akhir merupakan bagian dari enam rukun iman yang wajib diyakini oleh setiap pribadi Muslim. Artinya, sikap kepada tamu menjadi salah satu tanda keimanan yang paling utama.
Semakin baik ia menyambut dan menjamu tamu, maka akan semakin tinggi pula nilai keimanannya kepada Allah SWT. Dan sebaliknya, apabila ia kurang perhatian dalam menjamu tamu, maka ini pertanda kurang sempurnanya nilai keimanannya kepada Allah SWT.
Memuliakan tamu adalah akhlak para nabi dan orang-orang shaleh. Kisah tentang pelayanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kepada tamu beliau yang datang, berulang kali disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini menjadi pelajaran yang berharga bagi kita, bahwa ketika Al-Qur’an berkali-kali menyampaikan kisah Nabi Ibrahim bersama para tamunya, ini menunjukkan sikap memuliakan tamu adalah sangat penting.
Diantaranya adalah seperti yang Allah ceritakan dalam Surah Adz-Dzariyat, “Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (para Malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan salam, Ibrahim menjawab: salamun, (kalian) adalah orang-orang yang tidak dikenal. Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi yang gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim berkata: Silahkan kalian makan…” (QS. Adz Dzariyat 51 : 24-27)
Selain itu, ada sebuah kisah yang sangat menarik pula dalam kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabatnya tentang memuliakan tamu.
Suatu hari datanglah kepada Rasulullah SAW seorang musafir yang keadaannya sungguh memprihatinkan. Rasa lapar telah membuat tubuhnya terasa sangat lemah dan tidak berdaya. Ia mendatangi Rasulullah SAW untuk meminta makanan.
Rasulullah mengirimkan utusan kepada istri-istri beliau, menanyakan adakah diantara mereka yang memiliki makanan. Ternyata jawabannya sama, mereka tidak memiliki apa-apa selain air saja. Rasulullahkemudian bertanya kepada para sahabat, “Adakah diantara kalian yang mau menjamu orang ini?”
Maka salah seorang dari kalangan Anshar berkata, “Aku siap, wahai Rasulullah”. Orang Anshar ini segera menemui istrinya dengan wajah gembira, lalu ia berpesan “Muliakanlah tamu Rasulullah ini”.
“Kita tidak punya apa-apa selain makanan untuk anak-anak,” sahut istrinya.
“Kalau begitu siapkan makananmu, lalu matikanlah lampu, dan tidurkanlah anak-anak,” perintah suaminya.
Ketika mereka hendak makan, sang istri menyiapkan makanan, kemudian ia berdiri seakan-akan sedang memperbaiki lampu, sementara anak-anak sudah ditidurkan terlebih dahulu. Tamu ini makan dalam keadaan lapar. Kedua suami istri duduk di hadapan tamu seakan-akan mereka berdua ikut makan juga.
Tamu ini mengucapkan terimakasih atas jamuan yang telah mereka berikan. Kekuatannya telah pulih. Ia pamit dan segera meninggalkan rumah tersebut. Sementara seluruh anggota keluarga itu tidur dalam keadaan lapar.
Ketika pagi hari, sahabat dari kaum Anshar ini menemui Rasulullah SAW. Beliau menyambutnya dengan tersenyum. “Allah tertawa dan senang dengan apa yang kalian lakukan tadi malam pada tamu kalian”.
Tentang keluarga ini, Allah memuji mereka dengan ayat, “Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr 59 : 9)
Kita pun berhak mendapatkan pujian yang sangat prestisius itu, yakni menjadi orang-orang yang beruntung dan dijauhkan dari rasa kikir, tentunya kalau kita mau melakukan seperti apa yang keluarga itu lakukan; yaitu memuliakan tamu dengan semaksimal mungkin yang mampu kita lakukan. [Edt; GA]