Oleh: Ustadz Umar Faruq Lc (Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo Mesir)
(Panjimas.com) – Bila kita mengaku sebagai saudara dan ingin meninggikan makna persaudaraan, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam SAW adalah teladan kita yang luar biasa kepada kita tentang makna persaudaraan yang sejati.
Beliau SAW bahkan menegaskan bahwa tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kisah berikut ini semoga memberikan teladan yang berarti bagi kita.
Suatu ketika, kelaparan melanda Kota Madinah. Saking laparnya, sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengganjal perutnya dengan batu untuk menghilangkan rasa lapar ini.
Suatu ketika Abu Hurairah duduk di persimpangan jalan yang biasa dilalui orang. Tiba-tiba dari kejauhan terlihatlah Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sedang menuju ke tempat tersebut. Abu Hurairah berdiri dan menghentikan Abu Bakar untuk bertanya salah satu ayat Al-Qur’an.
“Demi Allah, sebenarnya aku bertanya kepadanya berharap ia bisa memberikanku makanan yang dapat mengenyangkan” kata Abu Hurairah menggambarkan kondisinya pada saat. Abu Bakar pun menjawab pertanyaan Abu Hurairah kemudian segera berlalu tanpa memberikan tawaran apa-apa.
Kemudian datanglah Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah segera berdiri menemui, bertanya tentang tafsir salah satu ayat dalam Al-Qur’an. “Demi Allah, sebenarnya aku bertanya kepadanya berharap ia bisa memberikanku makanan yang dapat mengenyangkan” kata Abu Hurairah jujur.
Umar menjawab pertanyaan Abu Hurairah kemudian segera berlalu tanpa memberikan tawaran apa-apa.
Kemudian lewatlah Rasulullah. Beliau SAW tersenyum melihat keadaanku. “Abu Hurairah,” sapa Rasulullah. “Labbaika, wahai Rasulullah”. “Ayo ikuti aku…” kata Rasulullah sambil berlalu.
Senyum harapan mengembang di bibir Abu Hurairah. Sebentar rasa laparnya akan hilang. Ia pun mengikuti Rasulullah. Ketika sampai di rumah Rasulullah, aku minta izin untuk ikut masuk. Beliau mengizinkanku. Di dalam rumah, beliau mendapat ada segelas susu.
“Dari mana susu ini?” tanya Rasulullah kepada keluarganya. “Itu hadiah untuk Anda dari si fulan” jawab mereka. Rasulullah segera memerintahkan kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, panggillah ahlu suffah”.
Ahlu Suffah adalah tamu-tamu Islam yang tidak punya keluarga, harta dan tidak punya seorang pun juga. Apabila datang sedekah kepada Rasulullah, beliau langsung mengirimkan kepada mereka, dan tidak mengambil sedikit pun darinya. Namun bila yang datang kepada beliau adalah hadiah, maka beliau memakannya kemudian membagikannya kepada Ahlu Suffah.
Perintah ini sempat membuat Abu Hurairah sedih. Dalam hati ia berpikir, bila susu ini diberikan kepada Ahlu Suffah tentu ia tidak mungkin mendapatkan bagiannya. Dalam hati Abu Hurairah berkata: “Kok diberikan kepada Ahlu Suffah? Aku yang lebih berhak mendapat seteguk susu yang dapat menguatkan badanku. Ketika mereka datang, tentu Rasulullah menyuruhkan untuk membagikannya kepada mereka. Apakah masih ada yang tersisa nanti untukku?”
“Namun ini harus aku lakukan karena taat kepada Allah dan Rasulnya. Aku memanggil mereka dan mereka pun datang beramai- ramai”.
Setelah semuanya datang, Rasulullah berkata pada Abu Hurairah, “Abu Hurairah, ambillah susu itu dan bagikan kepada mereka”. Abu Hurairah mengambil gelas susu dan membagikannya kepada mereka. Seorang demi seorang minum dari gelas tersebut sampai benar-benar kenyang dan puas.
Hingga gelas itu sampai kepada Rasulullah. Sementara semua sahabat sudah minum dengan puas. Aku memberikan gelas itu kepada Rasulullah. Beliau memandangku sambil tersenyum.
“Abu Hurairah, sekarang tinggal kita berdua” kata Rasulullah. “Benar, wahai Rasul” jawabku. “Kalau begitu, kamu duduk dan minumlah” perintah Rasulullah. Aku pun duduk dan minum. “Minumlah terus, wahai Abu Hurairah” kata Rasul. Aku pun minum dan terus minum..
Melihat aku berhenti Rasulullah berkata, “Minumlah terus, wahai Abu Hurairah”. “Demi Zat yang mengutus Anda dengan kebenaran, tidak tempat lagi wahai Rasulullah. Aku sangat kenyang dan puas”.
Aku pun memberikan gelas susu itu kepada Rasulullah SAW. Beliau membawa basmalah kemudian meminum sisa susu tersebut. Berkah.. berkah.. dan berkah…
Ya Allah berkahilah apa yang engkau berikan kepada kami, dan hindarkanlah kami dari api neraka…
Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita tentang makna persaudaraan. Salah satu tanda kesempurnaan iman adalah ketika kita mampu mencintai saudara kita seperti kita mencintai diri sendiri. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَنَسٍ عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari Anas r.a. bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidak sempurna keimanan seseorang dari kalian, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari).
Makna mencintai dalam kesempurnaan iman berarti mencintai apa yang terjadi pada dirinya, terjadi pula pada saudaranya. Mencintai jika saudaranya mendapatkan kebahagiaan sebagaimana ia mencintai kebahagiaan itu.
Sejarah umat ini juga memberi teladan terbaik bagi kita. Lihatlah peristiwa hijrah. Sesampainya di Madinah, para sahabat muhajirin dipersaudarakan dengan anshar. Diantara mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Namun dalam kesempurnaan iman, cinta antara mereka tumbuh dengan cepat, kokoh batangnya, lebat daunnya, dan ranumlah buahnya.
Diantara buah yang manisnya dicatat umat hingga kini adalah cinta antara Abdurrahman bin Auf dan saudaranya, Sa’ad bin Rabi. Cinta dalam kesempurnaan iman membawa Sa’ad bin Rabi membagi dua segala miliknya. Namun cinta dalam kesempurnaan iman juga yang membuat Abdurrahman bin Auf menolaknya.
Sampai di sini, marilah kita evaluasi, sudah sejauh mana kita memenuhi hak-hak persaudaraan antar sesama muslim?
Ah kadang-kadang, kita terlalu baik kepada non muslim tapi menjadi musuh dan palu bagi kaum muslimin sendiri. Kita mau menggotong salib dan ikut dalam kirab kristenisasi, sementara kita tidak memperhatikan kewajiban kita menjaga agama ini…
Kita masih lebih suka membuang makanan yang masih baik ke tong sampah daripada sedikit menoleh ke kanan kiri untuk mencari saudara kita yang masih kelaparan.
Kita lebih suka mencaci maki kegagalan saudara kita, dibanding menawarkan bantuan untuk menolongnya….
Allah… Yaa Allah, bimbinglah kami menyadari dan melaksanaan persaudaraan yang sejati… [Edt; GA]