PANJIMAS.COM – Dalam tulisan sebelumnya telah dibahas tentang definisi banci. Mereka adalah orang yang terlahir dengan dua jenis kelamin atau banci secara alami. (Baca: Definisi dan Pembagian Banci Menurut Kacamata Syariat Islam)
والخُنثى هو: الذي لا يُعْلَمُ أَذكرٌ هو أم أنثى؟ فيشمَلُ مَن له ذَكَرٌ وفَرْجٌ يبول منهما جميعاً
Banci (al-Khuntsa) adalah orang yang tidak diketahui apakah dia lelaki ataukah perempuan. Mereka adalah orang yang memiliki dzakar (kelamin lelaki) dan farji (kelamin wanita), dia kencing dari kedua saluran itu bersamaan. (as-Syarh al-Mumthi’, 4/223).
Namun demikian, para ulama tetap menekankan dalam memastikan salah satu dari dua jenis kelamin yang ada dalam diri seseorang. Misalnya sejak dini, dilihat dari kelamin mana ia buang air atau apakah dia keluar haid. Jika hal itu tidak memungkinkan juga, maka dilihat kecenderungan dari sikapnya, apakah ia cenderung laki-laki atau wanita. (Baca: Banci Menurut Syariat Harusnya Dihukum Berat bukan Malah Jadi Imam Shalat!)
Banci yang seperti inilah yang dimaksud dalam Syariat Islam sehingga masih dimungkinkan untuk menjadi imam shalat. Bukan banci/waria yang asalnya adalah seorang pria, kemudian berpenyakit mental sehingga bertingkah seperti perempuan.
Banci dan Imam Shalat
- Banci (khuntsa musykil) tidak wajib shalat jama’ah di masjid
Ia tidak diwajibkan shalat berjamaah di masjid, dan hendaknya ia shalat di rumah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
الخُنثى هو : الذي لا يُعلم أذكرٌ هو أم أُنثى ، فلا تجب عليهم الجماعةُ ؛ وذلك لأن الشرط فيه غير متيقَّن ، والأصلُ براءةُ الذِّمَّةِ وعدمُ شغلِها
“khuntsa adalah orang yang tidak diketahui ia laki-laki atau wanita. Ia tidak wajib shalat berjama’ah, karena syarat diwajibkannya shalat jama’ah (yaitu laki-laki) tidak bisa dipastikan ada pada dirinya. Dan hukum asalnya adalah bara’atu dzimmah (tidak ada kewajiban) dan tidak adanya tuntutan untuk melakukannya” (Asy Syarhul Mumthi’, 1/140).
- Banci (khuntsa musykil) boleh shalat di masjid namun ditempatkan pada shaf khusus
Walaupun tidak diwajibkan shalat di masjid, banci tetap boleh shalat di sana dan shalatnya sah. Namun sebaiknya ditempatkan pada shaf khusus.
” لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّهُ إِذَا اجْتَمَعَ رِجَالٌ ، وَصِبْيَانٌ ، وَخَنَاثَى ، وَنِسَاءٌ ، فِي صَلاَةِ الْجَمَاعَةِ ، تَقَدَّمَ الرِّجَال ، ثُمَّ الصِّبْيَانُ ، ثُمَّ الْخَنَاثَى ، ثُمَّ النِّسَاءُ ، وَلَوْ كَانَ مَعَ الإْمَامِ خُنْثَى وَحْدَهُ ، فَصَرَّحَ الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّ الإْمَامَ يَقِفُهُ عَنْ يَمِينِهِ ، لأِنَّهُ إِنْ كَانَ رَجُلاً ، فَقَدْ وَقَفَ فِي مَوْقِفِهِ ، وَإِنْ كَانَ امْرَأَةً لَمْ تَبْطُل صَلاَتُهَا بِوُقُوفِهَا مَعَ الإْمَامِ ، كَمَا لاَ تَبْطُل بِوُقُوفِهَا مَعَ الرِّجَال
وَالْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ مُحَاذَاتَهُ لِلرَّجُل مُفْسِدَةٌ لِلصَّلاَةِ ” انتهى .
“tidak ada khilaf di antara pada fuqaha bahwa jika dalam shalat jama’ah ada laki-laki, anak kecil, banci, dan wanita, maka urutannya dari yang terdepan adalah laki-laki, lalu anak kecil, lalu banci, lalu wanita. Jika yang menjadi makmum hanya ada 1 orang banci, ulama Hanabilah menegaskan bahwa banci tetap berdiri di sebelah kanan imam. Karena jika hakikatnya dia itu laki-laki, maka sudah benar tempatnya. Dan jika hakikatnya dia wanita, maka shalat tidak menjadi batal jika ada wanita berdiri di sebelah imam, sebagaimana juga tidak batal shalat seorang wanita jika ia berdiri di sebelah laki-laki. Dan yang masyhur di kalangan ulama Hanafiyah, banci yang berdiri sejajar dengan imam menyebabkan batalnya shalat” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 25/20).
- Banci (khuntsa musykil) shalat dengan menutup aurat sebagaimana aurat wanita
Sebagian ulama berpendapat banci wajib shalat dengan menggunakan penutup aurat yang menutupi bagian tubuh yang termasuk aurat wanita. Dikarenakan adanya kemungkinan bahwa ia adalah wanita, dan ini merupakan pendapat yang lebih hati-hati.
“يَرَى الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ أَنَّ عَوْرَةَ الْخُنْثَى كَعَوْرَةِ الْمَرْأَةِ حَتَّى شَعْرُهَا النَّازِل عَنِ الرَّأْسِ خَلاَ الْوَجْهَ وَالْكَفَّيْنِ ، …… وَصَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهُ يَسْتَتِرُ سَتْرَ النِّسَاءِ فِي الصَّلاَةِ وَالْحَجِّ بِالأْحْوَطِ ، فَيَلْبَسُ مَا تَلْبَسُ الْمَرْأَةُ . وَأَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَالْخُنْثَى عِنْدَهُمْ كَالرَّجُل فِي ذَلِكَ ؛ لأِنَّ سَتْرَ مَا زَادَ عَلَى عَوْرَةِ الرَّجُل مُحْتَمَلٌ ، فَلاَ يُوجَبُ عَلَيْهِ أَمْرٌ مُحْتَمَلٌ وَمُتَرَدِّدٌ ” انتهى
“Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa aurat banci itu sebagaimana aurat wanita. Bahkan termasuk juga rambut yang ada di wajahnya, selain wajah dan telapak tangan. Dan Malikiyyah menegaskan bahwa wajib bagi banci untuk menutup aurat sebagaimana aurat wanita dalam shalat, dalam rangka kehati-hatian. Maka, banci memakai busana yang biasa dipakai wanita (dalam shalat). Adapun Ulama Hanabilah, berpendapat bahwa aurat banci itu seperti aurat laki-laki. Karena adanay tambahan kewajiban menutup aurat lebih dari aurat laki-laki itu masih muhtamal (belum pasti). Maka perkara yang muhtamal dan mutaraddid (simpang-siur) tidak bisa memberikan beban wajib kepadanya” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 20/23).
Al Bahuti juga mengatakan:
قَالَ الْمَجْدُ : وَالِاحْتِيَاطُ لِلْخُنْثَى الْمُشْكِلِ : أَنْ يَسْتُرَ كَالْمَرْأَةِ
“Al Majd berkata: pendapat yang lebih hati-hati untuk khuntsa musykil adalah wajib menutup aurat sebagaimana aurat wanita” (Syarah Al Muntaha, 1/150).
Abul Fadhl Al Hanafi juga mengatakan:
وَيُصَلِّي بِقِنَاعٍ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ امْرَأَةٌ
“banci hendaknya shalat menggunakan penutup wajah karena adanya kemungkinan bahwa ia wanita” (Al Ikhtiyar, 3/39).
- Banci (khuntsa musykil) tidak boleh mengimami laki-laki atau banci
Banci tidak boleh mengimami laki-laki dan banci, namun boleh mengimami wanita.
وَلاَ تَصِحُّ إِمَامَةُ الْخُنْثَى لِلرِّجَال وَلاَ لِمِثْلِهَا بِلاَ خِلاَفٍ ؛ لاِحْتِمَال أَنْ تَكُونَ امْرَأَةً وَالْمُقْتَدِي رَجُلاً ، وَتَصِحُّ إِمَامَتُهَا لِلنِّسَاءِ مَعَ الْكَرَاهَةِ أَوْ بِدُونِهَا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ
“tidak sah status imam seorang banci jika makmumnya laki-laki dan juga jika makmumnya banci semisal dia, tanpa adanya khilaf dalam masalah ini. Karena adanya kemungkinan bahwa ia wanita, sedangkan yang diimami laki-laki. Namun sah status imamnya, jika makmumnya wanita, namun makruh (menurut sebagian ulama) atau tidak makruh menurut jumhur ulama” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 6/204).
- Posisi banci (khuntsa musykil) ketika mengimami wanita
Para ulama khilaf mengenai posisi banci ketika mengimami wanita.
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ مَا عَدَا ابْنَ عَقِيلٍ إِلَى أَنَّ الْخُنْثَى إِذَا أَمَّ النِّسَاءَ قَامَ أَمَامَهُنَّ لاَ وَسَطَهُنَّ ؛ لاِحْتِمَال كَوْنِهِ رَجُلاً ، فَيُؤَدِّي وُقُوفُهُ وَسَطَهُنَّ إِلَى مُحَاذَاةِ الرَّجُل لِلْمَرْأَةِ
ويَرَى الشَّافِعِيَّةُ أَنَّ التَّقَدُّمَ عَلَيْهِنَّ مُسْتَحَبٌّ ، وَمُخَالَفَتُهُ لاَ تُبْطِل الصَّلاَةَ . وَقَال ابْنُ عَقِيلٍ : يَقُومُ وَسَطَهُنَّ وَلاَ يَتَقَدَّمُهُنَّ
“Ulama Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah selain Ibnu Aqil berpendapat bahwa jika banci mengimami wanita maka ia berdiri di depan, bukan di tengah shaf. Karena adanya kemungkinan bahwa ia laki-laki, sehingga jika ia ditempatkan pada tengah shaf maka ini artinya ada kesejajaran antara shaf wanita dan laki-laki (dan ini terlarang, pent). Namun Syafi’iyyah berpendapat hal itu mustahab (sunnah), sehingga jika dilanggar tidak menyebabkan batalnya shalat. Adapun Ibnu Aqil, ia berpendapat: banci berdiri di tengah shaf bukan di depan” (Al Maushu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 25/20).
- Banci (khuntsa musykil) tidak boleh menjadi makmum dari imam wanita
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan:
لا يصحُّ أن تكون المرأةُ إماماً للخُنثى ؛ لاحتمالِ أن يكون ذَكَراً
“tidak sah jika wanita menjadi imam bagi banci, karena adanya kemungkinan bahwa ia laki-laki” (Asy Syarhu Al Mumthi’, 4/223).
Wallahu a’lam.
Penutup
Dari pemaparan di atas sangat jelas, bahwa memang ada pembahasan soal banci dalam kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama salafus shalih. Namun yang perlu digaris bawahi adalah, banci yang dimaksud adalah banci alami, dimana seseorang dilahirkan dengan dua alat kelamin.
Kemudian, banci yang sakit mental, sebagaimana pemaparan di atas bukanlah yang dimaksud dalam pembahasan fiqih oleh ulama. Para banci yang cacat mental tersebut sebaiknya segera bertaubat sebelum ajal menjemput. Selain laknat mendapat dari Allah, secara hukum syariat Islam, banci bisa dikenakan sanksi yang berat.
Adapun terkait buku agama yang digunakan sebagai panduan untuk anak-anak SD atau Madrasah Ibtidaiyah, seyogyanya tidak memuat pembahasan soal banci. Pembahasan tersebut, bisa dipelajari mungkin di pendidikan lanjutan atau pendidikan tinggi. Apalagi di dalam pembahasan soal banci juga mengandung ikhtilaf para ulama serta untuk menolak adanya madharat. Dalam kaidah fiqih disebutkan.
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
“Menolak mudharat (bahaya) lebih didahulukan dari mengambil manfaat”
Tujuan lainnya, untuk melindungi kejiwaan anak-anak. Sebab selama ini persepsi banci secara umum dipahami sebagai waria (mukhannats) seperti kita saksikan berkeliaran di jalan-jalan.
Selain itu juga untuk mencegah disusupi oleh pemahaman liberal yang mengarah pada lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Semoga penjelasan ringkas ini memberikan manfaat. Wallahu a’lam bish shawab. [AW/dbs]