PANJIMAS.COM – Hajjaj bin Yusuf adalah pemimpin yang kejam lagi durjana. Ketika dia berhasil menguasai Irak, tidaklah ia menugaskan seseorang untuk menjabat di sana dan mengatur rakyat ‘Iraq melainkan tidak berumur panjang karena penduduk Irak yang tidak rela dengan kezhaliman mereka selalu mendoakan kebinasaan bagi siapa saja yang menjadi wakil Hajjaj di Irak.
Hajjaj pun memutar otak liciknya. Hajjaj meminta seluruh penduduk Irak agar memberinya masing-masing sebutir telur ayam dan meletakkannya di beranda masjid Jami’(masjid besar). Dia mengaku sangat membutuhkannya. Penduduk Irak pun menuruti kemauannya tanpa sediktipun menaruh rasa curiga dan menganggap hal itu bukan merupakan kemungkaran. Sehingga mereka merasa tidak punya alasan untuk menolaknya. Singkat cerita, mereka berbondong-bondong mereka menuju masjid Jami’ dengan membawa sebutir telur di tangan masing-masing lalu meletakkan telur-telur itu begitu saja di beranda masjid.
Setelah semua orang meletakkan telur-telur yang mereka bawa, Hajjaj melancarkan siasat busuknya. Dia bilang dia sudah berubah pikiran. Dia tidak butuh lagi telur-telur ayam itu. Dia mempersilakan penduduk Irak untuk membawa pulang telur-telur itu. Beribu tanda tanya bergejolak di hati penduduk Irak. Apa gerangan maunya si pendosa durjana itu. Dengan mulut terkunci atau sekedar bisik dan gumam, masing-masing pulang dengan membawa sebutir telur. Mereka pikir, jika yang diambilnya bukan telur miliknya, pastilah itu telur milik saudaranya yang pasti merelakannya barang miliknya tertukar.
Dari kejauhan, Hajjaj tersenyum puas. Pendosa itu tahu, rencananya berhasil tanpa cela. Dia lega. Kini ia bisa menjanjikan keselamatan bagi siapa saja yang menjadi wakilnya, tanpa takut doa dan kutukan penduduk Ira. Sesampainya di rumah masing-masing, penduduk Irak belum menyadari bahwa Hajjaj telah berhasil menipu mereka. Mereka menjalani hari-hari seperti biasa. Dan seperti biasa pula mereka mendoakan kebinasaan wakil si pendosa durjana yang duduk di kursi tertinggi di Irak. Hari berganti pekan, pekan berganti bulan, penduduk Irak menunggu kebinasaan penguasa baru itu. Namun, kabar kematian yang biasanya tak pernah mereka tunggu lama saat itu tak kunjung tiba. Mereka mulai mawas diri. Mereka menginstropeksi diri. Mereka pun sadar bahwa mereka telah ditipu mentah-mentah oleh Hajjaj. Mereka kalah siasat. Telur yang mereka bawa pulang yang kemudian mereka rebus atau goreng beberapa waktu yang lalu, mereka pastikan bukan telur milik mereka. Yah, telur syubhat telah menghalangi pengabulan doa-doa mereka. Tapi apalah daya, nasi telah menjadi bubur. Sesal kemudian tiada guna. Tinggal kesabaran menghadapi kezhaliman Hajjaj yang dapat mereka hadirkan.
Akidah tentang Makanan Halal
Mengomentari kisah di atas, Ibnul Haj (737 H.) berkata, “Karena hal inilah hari ini kezhaliman merata. Banyak doa dipanjatkan agar para pelakunya binasa, namun sedikit sekali yang dikabulkan jika bukan malah tak ada. Sekiranya penduduk suatu negeri selamat dari keadaan itu lantas berdoa, niscaya doa mereka dikabulkan.”
Ahlussunnah menjadikan perkara makan yang halal ini sebagai salah satu akidahnya. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Sesungguhnya ada hamba-hamba Allah yang karenanya Allah menghidupkan negeri dan memberi hidup untuk penghuninya. Mereka adalah para pengikut Sunnah. Barangsiapa yang memastikan apa pun yang memasuki rongga perutnya adalah makanan yang halal, maka dia termasuk hizbullah, golongan Allah Ta’ala.”
Ibnu Rajab menambahi pernyataan Fudhail, berkata, “Yang demikian itu karena makan yang halal adalah perkara terpenting yang dijaga oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat.” Mereka adalah orang-orang yang bersikap ‘iffah dalam urusan makanan, minuman, pernikahan, dan pakaian. Abu Hurairah radiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah tidaklah menerima amalan kecuali yang baik.
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada para Rasul,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mu’minun: 51)
Allah juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (Al-Baqarah: 172)
Setelah itu Rasulullah menceritakan keadaan seseorang yang telah lama bepergian, rambutnya kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sembari berdoa,
“Wahai Rabbku, wahai Rabbku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya juga haram, serta ia dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia panjatkan akan dikabulkan?’.”
Berkenaan dengan hadits ini Ibnu Rajab menulis, “Salah satu faktor terbesar tercapainya amal yang baik bagi seorang mukmin adalah kebaikan makanannya: hendaknya makanan halal. Dengan makanan halal itulah amalnya menjadi bersih. Hadits ini pun mengisyaratkan, amal tidak akan diterima dan tidak bersih melainkan dengan hanya makan makanan yang halal. Juga, makanan haram merusak amal dan menghalangi penerimaannya.” [AH/alu mudaris]