PANJIMAS.COM – Siapa yang tak kenal dengan istilah komik, novel dan kitab kuning? Adakah yang belum tahu apa itu foto dan film? Tentu semua orang sudah tahu lah, mas. Baik, tahukah saudara jika kelimanya tadi memiliki kesamaan? Kelimanya hanya bisa dinikmati dengan satu alat indera. Benarkah? Tentu. Melihat foto, menonton film dan membaca komik, novel, juga kitab kuning hanya bisa dinikmati dengan memfungsikan mata. Dan karena itu produk ciptaan Allah, tentu ada aturan pakainya. Kalau pemakaian sesuai aturan, maka mendapatkan pahala, atau setidak-tidaknya tidak mendapat dosa. Kalau tidak sesuai aturan, maka sangat berpeluang menambah dosa, atau setidak-tidaknya mendapat murka.
Contoh, ketika mata kita gunakan mengkaji kitab kuning (baca: kitab para ulama), atau menyaksikan rekaman pengajian, maka inshaaAllah akan mendapat pahala. Namun, bila kita gunakan menonton tayangan mengandung maksiat, atau membaca darmo gandul, dan majalah parno, maka siap-siap saja mendapat teguran dari-Nya.
Pernahkah kawan mendengar nama Shalih Buraik? Beliau seorang kakek guru, ulama yang kini sudah berusia senja, hampir satu abad. Adalah Tuan guru kita Shalih al-Ushoimi menyebutkan kisah Syaikh Shalih Buraik ketika menyinggung seputar amanah mata di sela-sela kajian ilmiah beliau di masjid Nabawy tempo hari.
Syaikh al-Ushoimi mengisahkan satu moment menarik tentang kakek guru ini, yaitu tatkala Syaikh Shalih Buraik dalam perjalanan menuju kota Riyadh. Ketika memasuki kota ini, salah satu putra beliau hendak mengenalkan kepada beliau salah satu keindahan kota yang menurutnya akan menarik perhatian sang Ayah.
“Abah, itu lho bangunan megah yang sering diomongin sama orang-orang.” (mudroj, -pen)
MaashaaAllah, indah sekali ciptaan Allah yang satu ini ya Nak. Itukah reaksi sang Ayah? Ternyata bukan. Ataukah sebaliknya, beliau tidak merespon lantaran beliau sudah tua dan tidak lagi tertarik melihat benda-benda seperti itu? Tidak juga, kawan. Lantas apa reaksi sang kakek guru hafidzahullah ini?
Seketika itu juga Syaikh Shalih Buraik langsung menyibakkan imamah (sorban) beliau, sehingga menjadikan imamahnya sebagai penghalang antara mata beliau dengan bangunan indah itu. Dengan demikian, Syaikh tidak sempat sedikit pun melihat sesuatu yang secara syari’at tidak ada larangan untuk melihatnya meski ia sangat menarik di mata orang banyak.
Lantas apa gerangan yang membuat Syaikh enggan untuk melihatnya?
Sebelumnya, gurunda Syaikh al-Ushoimi juga menyebutkan kisah semisal. Tujuh abad silam, ketika kota Kairo telah rampung dibangun, khalayak di seantero negeri diserukan agar berkunjung dan datang melihat keindahan kota bersejarah ini. Melihat seruan tersebut, tampillah seorang Ibnu Rif’ah mengeluarkan statement akan haramnya menyambut seruan ini. Ternyata fatwa ini diamini pula oleh Ibnu Taimiyah, bahkan beliau memuji Ibnu Rif’ah karena kematangan fikih sang ulama tersebut. Seolah-olah air mata ilmu bercucuran dari jenggot Ibnu Rif’ah. Sebuah pujian yang menandakan kedalaman fikih Ibnu Rif’ah yang juga dikenal sebagai seorang faqih madzhab Syafi’i kala itu.
Tentu kita bertanya-tanya, kenapa beliau melarang manusia pergi melihat kemegahan kota Kairo? Bukankah itu hal-hal yang wajar saja? Tidak, kawan. Beliau menilai bahwa seruan itu akan memaksa manusia mau ‘membuka mata’. Dengan begitu, ia akan mudah terpedaya oleh glamournya perhiasan dunia kala itu. Tidak sekedar melihat, bahkan ajakan itu akan membuat manusia takjub, sehingga dikhawatirkan akan tertanam kecintaan kuat atas dunia. Inilah yang dilarang oleh syari’at, karena memikat hati manusia agar lebih cinta kepada dunia. Pada akhirnya semua itu akan membuat pikiran manusia tersibukkan oleh perkara duniawi yang tiada faedahnya. Itulah sebab keluarnya fatwa larangan dari sang ulama, demi menjaga agar hati dan pikiran manusia tidak tersibukkan oleh perkara-perkara yang melalaikan, lagi melupakan dari tujuan hidupnya.
Dari sini terjawab pula mengapa Syaikh Shalih Buraik enggan mengiyakan seruan anaknya meski sekedar melihat bangunan yang elok nan terkenal itu. Tidak lain, karena hal itu hanya akan membuat bekas di hati, selalu teringat hingga melupakan perkara yang bermanfaat.
Rupanya betul, kawan. Ketika hati dan pikiran kita sudah penuh dengan memori-memori yang melenakan, minimal konsentrasi kita dari tujuan semula akan berkurang.
“Itukan ulama bro, ya wajar saja toh, kita kan bukan siapa-siapa”, antikritik melawan.
Benar wan, itu memang sifat wara’ para ulama, dengan hal yang mubah pun mereka sangat berhati-hati. Baiklah, anggap saja itu maqomnya para ulama yang tak mudah dicapai orang seperti saya dan sampean. Tapi sekarang cobalah tanyakan pada diri kita, sudahkah kita mengupayakan pandangan kita aman dari yang haram?
Adakah di antara kita yang masih menganggap wajar melihat tanyangan-tayangan yang jelas-jelas menampilkan aurat wanita? Bahkan menyarankan orang lain agar ikut menyaksikan dengan alasan mengandung akhlak dan pendidikan? Tidak adakah sarana lain yang lebih selamat wahai kawan? Apalagi tayangan murni percintaan dan romanpicisan? Ataukah syari’at sekarang sudah mulai usang? Subhanallaah!
Bahkan tak jarang kita tak kuasa untuk segera merespon buruk siapa pun yang berani melucuti hak asasi kita. Menganggapnya sok suci, suka mencampuri urusan orang, meski ia hanya mengingatkan. Allahul Musta’aan.
Kalau sudah demikian, kita layak mawas diri. Demikian nasehat Tuan Guru kita, Syaikh al-Ushoimi. Beliau menukilkan perkataan seorang salaf,
من أكثر النظر في الباطل ذهب نور الحق من قلبه
“Barang siapa terbiasa memanjakan pandangannya pada hal yang batil, niscaya cahaya kebenaran akan sirna dari hatinya.” [AH/KakUstadz]