PANJIMAS.COM – Dalam sebuah kesempatan, seorang Ibnul Jauzi, menuliskan hasil risetnya tentang tingkah laku aneh seorang hamba yang ia rangkum dalam status emas yang kemudian dikenal dengan nama Shaidul Khaathir. Salah satunya tentang penyebab kegagalan dalam bertaubat. Siapakah yang menjadi obyek risetnya? Apa saja tingkah laku anehnya? Temukan jawabannya setelah Anda menyimak seluruhnya.
“Aku merenungkan sebuah makhluk, dan aku tak habis pikir atas kondisinya yang sangat aneh. Hampir-hampir akalku rusak gara-gara memikirkannya. Padahal ia sering mendapat nasehat, bahkan diingatkan tentang akherat, dan ia pun percaya atas semua itu. Lantas ia menangis, menyesali semua kelalaiannya dan berkomitmen untuk segera berbenah. Namun, tiba-tiba saja ia menunda komitmennya tersebut.
Ketika ditanya, “Apakah engkau masih ragu akan janji-Nya?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah aku tak ragu.” Lalu dikatakan kepadanya, “Kalau begitu, kerjakan!” Maka saat itu juga ia berniat mengerjakan. Namun, lagi-lagi ia terhenti. Bahkan ia mulai berani mencicipi yang haram meskipun ia tahu bahwa hal itu terlarang.
Problem inilah yang juga menyebabkan tiga orang sahabat tertinggal dari peperangan, padahal mereka tak memiliki alasan apa pun. Bahkan mereka menyadari alangkah buruknya keterlambatan. Demikian itu kondisi para pelaku maksiat dan orang-orang yang lalai.
Kemudian aku merenungkan penyebabnya. Tak ada yang salah dengan keyakinan mereka. Namun, kenapa reaksi mereka amat lambat. Rupanya ada tiga faktor penyebab:
Yang pertama, melihat hal-hal yang terlarang. Hal ini hanya akan membuang-buang waktu dari memikirkan sesuatu yang tak berguna.
Yang kedua, menunda-nunda taubat. Orang yang berakal pasti akan selalu mawas diri dari segala penyebab keterlambatan. Barang kali ajal datang menjemputnya, sementara ia belum sempat bertaubat. Maka sangat mengherankan kalau ada orang yang sudi menyerahkan nyawanya sebelum waktunya. Ia tidak sungguh-sungguh dalam beramal, padahal ia tahu bahwa nafsu hanya akan memperpanjang angan-angan.
Sang Nabi telah bersabda, “Sholatlah seakan-akan ia adalah sholat terakhirmu.” Inilah obat pamungkas bagi penyakit ini. Sebab, siapa pun yang merasa tak punya kesempatan untuk melakukan sholat lagi setelah itu, niscaya ia akan bersungguh-sungguh mengerjakannya.
Adapun yang ketiga adalah menganggap mudah datangnya rahmat. Sehingga seorang pelaku maksiat merasa aman dan berkata dalam hati, “Tenang, Allah Maha Penyayang terhadap hamba-Nya.” Dan saat itu ia lupa, bahwa adzab-Nya pun amat keras.”
Ya Rabb, apakah itu saya??. [AH/Kakustadz]