PANJIMAS.COM – Alhamdulillah Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa dan semoga keselamatan dan Rahmat-Nya senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat, serta seluruh pengikutnya.
Syaikh Abu Qatadah Al- Filasthini dalam Al-Jihad wal Ijtihad, menjelaskan bahwa inti dari kesyirikan itu dalam dua hal, syirik kubur dan syirik qusur (hukum).
Pembahasan tentang syirik kubur, sudah menjadi tema yang banyak diketahui kaum muslimin, karena kesadaran para du’at dalam menjelaskan hal ini, namun untuk macam yang kedua, sangat sedikit du’at yang benar- benar menjelaskannya,yaitu keyakinan bahwa ber-tahakum (berhakim) kepada syari’at selain syari’at Allah berupa qawwanin wadl’iyyah jahiliyyah(hukum-hukum buatan) merupakan kekufuran, yang di mana hal itu merupakan sampah pemikiran manusia dan kotoran akalnya yang semuanya telah dihukumi oleh Al Khaliq sebagai hawa nafsu dalam firman-Nya ‘Azza wa Jalla :
يَا دَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الأرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (Shaad: 26)
Allah menjadikan selain kebenaran adalah hawa nafsu yang menyesatkan,keyakinan bahwa hal tersebut di atas paling tidak hanyalah menyebabkan kefasikan, atau kesalahan yang bisa diampuni, ini apabila tidak ada bagi pelakunya udzur dan hujjah-hujjah yang mengeluarkannya dari lingkungan dosa juga kefasikan, apalagi dari kekufuran.
Menjadikan hawa nafsu ini kesesatan dan thaghut sebagai hukum
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلا الضَّلالُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan” (Yunus: 32)
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat” (Al Baqarah: 256)
يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut”. (An Nisa: 60)
Ini merupakan musibah yang telah umum diseluruh negeri kaum muslimin, Rasulullah bersabda,
أول ما تفقدون من دينكم الحكم، وآخر ما تفقدون منه الصلاة
“Sesuatu yang pertama kali hilang dari kalian adalah hukum, dan sesuatu yang paling terakhir hilang darinya adalah shalat”
Dan termasuk musibah besar dalam aqidah yang menimpa umat ini, dalah keyakinan penentuan hukum dengan suara terbanyak -demokrasi- adalah hal yang boleh-boleh saja tidak ada masalah, sehingga menurut banyak orang tidak berdosa bila rakyat itu menjadi sumber hukum, bahkan sebagian orang yang baik saking bersemangatnya ia mengatakan: Sesungguhnya rakyat bila disuruh memilih, tentu mereka tidak akan memilih kecuali Islam, dan terluput dari benak mereka bahwa Islam itu wajib dijadikan rujukan baik rela atau terpaksa, dan bila mayoritas tidak menginginkannya, maka pendapat mereka itu tidak usah dihiraukan.
Salah satu kebusukan dari Demokrasi nampak pada adanya kekuasaan Legislatif yaitu kekuasaan untuk membuat hukum dan Undang-undang. Hak untuk menetapkan hukum adalah milik Allah selaku Al Khaliq dan bukan hak makhluk.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“…Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah.Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.Itulah agama yang lurus tapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Q.S.Yusuf : 40).
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik” (Q.S. Al An’am : 57)
dari dua ayat tersebut diatas jelaslah bahwa membuat dan menetapkan hukum adalah hak Allah. Dialah pencipta langit, bumi, manusia dan segenap makhluk yang ada di jagat raya ini. Karena itu tidak ada hukum yang paling tepat untuk mengatur manusia dan alam semesta ini kecuali hukum yang telah ditetapkan oleh penciptanya. Sebab hanya Allah sajalah yang paling tahu hakikat keadaan manusia dan alam semesta.
Dialah Allah yang tahu hukum seperti apa yang tepat untuk mengatur kehidupan manusia di alam semesta ini. Karenanya tidak ada kebaikan bagi manusia dan alam semesta kecuali diatur dengan aturan Allah. Dan akan berakibat kerusakan dan tersebar kedzaliman jika alam semesta dan manusia diatur dengan hukum buatan selain Allah.
Untuk memelihara kehidupan manusia di alam semesta itulah Allah menurunkan hukum yang berfungsi untuk menjaga agama, akal, jiwa, keturunan dan harta manusia. Hukum itulah syariat yang bersumber dari wahyu Allah ‘Azza wa jalla. Karena itu jika ada manusia yang merasa punya hak untuk menetapkan hukum maka sesungguhnya dia telah merampas hak Allah dan ia telah mengangkat dirinya sebagai tuhan selain Allah.
Dalam ajaran Demokrasi ada pemberian kekuasaan untuk membuat hukum dan undang-undang. Kekuasaan itu diberikan kepada anggota Legislatif atau parlemen. Dengan demikian berarti ada perampasan hak Allah oleh anggota parlemen dan itu juga berarti para anggota parlemen itu telah mengangkat dirinya sebagai tandingan-tandingan bagi Allah.
Dari penjelasan singkat tersebut nampaklah akan kekafiran dan kebusukan dari ajaran demokrasi. Masih banyak kebusukan-kebusukan dari ajaran demokrasi yang kafir tersebut, maka apakah kita akan merusak keberkahan Ramadhan dengan mendukung ajaran demokrasi, karena ikut- serta meramaikan perangkat demokrasi merupakan bentuk dukungan terhadapnya.
Seorang muslim tidak ingin puasanya tertolak, karena dukungan terhadap ajaran busuk ini, para ulama’ fiqh mewanti- wanti hal ini,bahkan orang yang sedang adzan dapat tertolak adzanya karena dia meyakini adanya sesembahan selain Allah,
Di antara hal ini adalah ucapan Ibnu Qudamah rahimahullah, “Sesunguhnya riddah adalah membatalkan wudhu dan membatalkan tayammum dan ini adalah pendapat Al Auza’iy dan Abu Tsaur. Dan ia (riddah) adalah mendatangkan sesuatu yang dengan sebabnya ia keluar dari Islam, baik itu ucapan ataupun keyakinan atau pun keraguan yang memindahkan dari Islam, kemudian kapan saja ia kembali kepada keislamannya dengan rujuk kepada dienul haq maka ia tidak boleh shalat sampai ia berwudhu, meskipun ia telah berwudhu sebelum ia murtad” (Al-Mughny 1/130)
Ibnu Qudamah juga berkata,“(riddah)itu membatalkan adzan bila ia ada di tengah adzan” (Al-Mughny)
Dan berkata juga, “Kami tidak mengetahui perbedaan di antara ahli ilmu bahwa orang yang murtad dari Islam di tengah shaum sesungguhnya shaumnya rusak dan ia wajib meng-qadha’ hari itu bila ia kembali Islam di tengah hari itu ataupun hari itu sudah habis” (Al-Mughny 3/133). [AH]