PANJIMAS.COM – Pertanyaan : Assalamu’alaikum, Apakah wajib bermadzhab? (Angga)
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rab semesta alam, shalawat beriring salam kita haturkan kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat, serta pengikut beliau hingga akhir zaman, Amma ba’du.
Sebelumnya menjawab pertanyaan di atas baiknya diketahui terlebih dahulu hakikat dari madzhab,
Mazhab pada hakikatnya adalah pendapat. Penjelasannya adalah bahwa tidak semua hukum-hukum syariah bisa dengan jelas ditemukan dasar dalilnya di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Ada begitu banyak hukum yang tidak mudah ditemukan dalilnya, bahkan boleh dikatakan bahwa justru sebagian besarnya justru tidak bisa dengan mudah didapat dalilnya dengan cara yang gamblang pada nash-nash syariah itu.
Untuk itu para fuqaha, yaitu ulama yang ahli di bidang istimbath hukum, perlu melakukan berbagai upaya ijtihad untuk dapat mengeluarkan kesimpulan. Dalam prosesnya, memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemudian muncul perbedaan-perbedaan antara satu dengan yang lain. Hal itu tentu terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhinya.
Mazhab pada hakikatnya adalah sebuah kesimpulan hukum yang diambil.
Perbincangan masalah, apakah perlu bermadzhab di dalam Islam,memang menjadi perhatian dikalangan ulama’, kalau kita lihat di Indonesia, maka akan kita temukan dua kubu yang berseberangan, di satu sisi mengatakan bahwa madzhab itu adalah bid’ah yang harus ditinggalkan, disisi lain mengatakan madzhab suatu keharusan dalam agama, lalu bagaimana kita menyikapi hal ini, karena keterbatasan ilmu kami, maka kami sajikan kepada para pembaca tulisan DR. Ahmad Zain An-Najah.
“Mazhab itu sebuah madrasah (sekolah) untuk mempelajari Islam, mazhab adalah metode yang sistimatis untuk mempelajari Islam. Sehingga, dengan jalan ini orang akan mudah memahami agama dan tidak kebingungan (confuse). Yang tidak boleh adalah fanatik buta terhadap mazhab.” Ungkap DR. Zain An-Najah.
Bahwa para ulama yang muktabar, meski mereka bermazhab, tetap kritis dengan mazhab yang dianutnya. Ia mencontohkan Imam Muzani yang bermazhab Syafi’i, namun tetap kritis terhadap pendapat Imam Syafi’i. Demikian pula Ibnu Taimiyah, meski bermazhab Hambali, tetap kritis terhadap mazhab yang dianutnya.
Adapun orang yang tidak bermazhab, menurut doktor ilmu fiqh dari Universitas Al-Azhar, Kairo, ini, boleh-boleh saja asal memiliki ilmu yang memadai mengenai cara memahami al-Qur`an dan Sunnah. Sedang untuk memahami keduanya harus menguasai perangkat yang dibutuhkan. Bila tidak, dikhawatirkan mereka seenaknya mengartikan kedua sumber hukum tersebut.
“Setidaknya ia harus menguasai bahasa Arab dengan baik, karena al-Qur`an dan Sunnah berbahasa Arab,” jelasnya lagi.
Selain itu mereka harus memahami penafsiran para sahabat tentang kedua kitab tersebut. Karena merekalah orang yang paling paham isi al-Qur`an dan Sunnah, sebagaimana yang mereka terima langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW). “Persyaratan ini harus dipenuhi supaya tidak terjerumus kepada penafsiran yang ngawur,” tegasnya.
Risiko dari penafsiran yang ngawur itu, menurut Zain lagi, bisa mengantarkan seseorang ke dalam neraka. Hadits Rasulullah SAW yang diriwiyatkan Imam Turmudzi berbunyi: ”Siapa yang menafsiri al-Qur`an dengan ra’yunya (akalnya), siap-siaplah untuk menempati tempat duduknya di neraka.”[AH]
Sumber: www.ahmadzain.com