PANJIMAS.COM – Pertanyaan : Assalamu’alaikum, Ustadz, bagaimana membayar puasa yang telah lewat, beberapa kali Ramadhan, apakah memakai denda beras? Berapa ukuran berasnya? Dan saya dulu telah menggampangkan untuk membayara puasa Ramadhan sampai terlewat lama, sehingga saya lupa berapa hutang saya, sekarang saya ingin membayarnya bagaimana ustadz, sedangkan saya lupa hutang puasa saya,? (Ismi, Surabaya)
Jawab:
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rab semesta alam, shalawat beriring salam kita haturkan kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta keluarga, sahabat, serta pengikut beliau hingga akhir zaman, Amma ba’du.
Penanya yang dirahmati Allah!
Marilah kita sama- sama terlebih dahulu beristighfar kepada Allah, karena terkadang kita menganggap enteng kewajiban- kewajiban yang Allah amanhkan kepada kita.
Selanjutnya untuk permasalah tentang lupa hutang puasa, maka hendaknya berusaha memperkirakan jumlah puasa yang ditinggalkan dan mengqadha’nya sampai ia yakin atau kuat dalam perkiraannya bahwa ia telah mengqadha’ puasanya dan merasa tenang bahwa ia telah lepas dari tanggungan.Allah berfirman,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu” (At-Taghabun 16)
Demikian pula orang yang lupa berapa jumlah hari yang menjadi tanggungan dia berpuasa, apakah 12 hari ataukah 10 hari, yang harus dia pilih adalah yang lebih meyakinkan yaitu 12 hari. Dia memilih yang lebih berat, karena semakin menenangkan dan melepaskan beban kewajibannya. Karena jika dia memilih 10 hari, ada 2 hari yang akan membuat dia ragu. Jangan-jangan yang 2 hari ini juga tanggungan dia untuk berpuasa. Berbeda ketika dia memilih 12 hari. Dan sekalipun kelebihan, puasa yang dia lakukan tidak sia-sia, dan insyaaAllah dia tetap mendapat pahala.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,
البدار بالصوم على حسب الظن، لايكلف الله نفساً إلا وسعها
“hendaknya segera berpuasa sesuai dugaan kuatnya, dan Allah tidak membebani seseorang kecuali seseuai kesanggupannya”
إذا كَثرَت الْفوائتُ عليهِ يتشاغلُ بالقضَاء… فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ قَدْرَ مَا عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يُعِيدُ حَتَّى يَتَيَقَّنَ بَرَاءَةَ ذِمَّتِهِ
“Apabila tanggungan puasa sangat banyak, dia harus terus-menerus melakukan qadha….jika dia tidak tahu berapa jumlah hari yang menjadi kewajiban puasanya, maka dia harus mengulang-ulang qadha puasa, sampai dia yakin telah menggugurkan seluruh tanggungannya.” (Al- Mughni 1:439)
Adapun berkaitan membayar puasa yang telah lewat beberapa Ramadhan, apakah cukup qadha’ atau disertai fidyah (memberi makan orang miskin)?
Dalam situs konsultasi Islamqa, yang diasuh Syaikh Shalih Al-Munnajid, disebutkan,
Para ulama bersepakat bahwa diwajibkan mengqado hari-hari yang dia buka puasa pada bulan Ramadan sebelum datangnya Ramadan selanjutnya. Mereka berdalil dari apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, 1950 dan Muslim, 1146 dari Aisyah radhiallahu’anha, dia berkata:
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلا فِي شَعْبَانَ ، وَذَلِكَ لِمَكَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Biasanya saya mempunyai (tanggungan) puasa Ramadan, saya tidak mampu mengqadhanya kecuali di bulan Sya’ban. Hal itu karena kedudukan Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam.”
Al-Hafidz rahimahullah berkata, “Sikap beliau yang sangat berupaya melakukannya di bulan Sya’ban, menunjukkan bahwa tidak diperkenankan mengakhirkan qadha sampai memasuki Ramadan lain.”
Kalau qadha puasanya ditunda hingga memasuki Ramadan selanjutnya, maka tidak terlepas dari dua kondisi;
Pertama: Menundanya karena ada alasan (uzur). Seperti jika sakit dan terus berlanjut sampai memasuki Ramadan selanjutnya. Maka dia tidak berdosa mengakhirkannya, karena ada uzur. Maka dia hanya mengqadha saja hari-hari yang dia berbuka puasa.
Kondisi kedua: Menunda qadha tanpa ada uzur. Misalnya, dia mampu mengqadhanya, akan tetapi dia tidak mengqadha sampai memasuki Ramadan lagi. Maka dia berdosa karena mengakhirkan qadha tanpa ada uzur. Para ulama sepekat dia harus mengqadha. Akan tetapi mereka berbeda pendapat apakah selain mengqadha diharuskan juga memberi makan satu orang miskin untuk sehari puasa yang ditinggalkan.
Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad berpendapat, dia harus memberi makan. Mereka berdalil bahwa hal itu telah ada (yang melakukan) dari kalangan para shahabat seperti Abu Hurairah dan Ibnu Abbas radhillahu’anhum.
Sedangkan Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat, tidak wajib qadha dengan memberi makan. Beliau berdalil bahwa Allah ta’ala hanya memerintahkan orang yang berbuka puasa bulan Ramadan untuk mengqadha saja tanpa menyebutkan makanan.
Allah berfirman;
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
‘Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.’ (QS. Al-Baqarah: 184). [AH]